Pagi itu saya bergegas ke stasiun Pasar Senen untuk mengejar kereta ekonomi tujuan Cirebon.Â
Tak banyak bekal saya bawa kecuali ibu. Keyakinan atas doa yang selalu dipanjatkan untuk anaknya, yang membuat segalanya tak pernah berakhir pilu.Â
Namun naik kereta kali itu memang bukan sekadar perkara mudik lebaran. Ada pesan yang diemban.Â
Harapan dan doa dari seorang ibu yang kerap bertanya dengan bahasanya yang paling halus di setiap Hari Raya, "Mana calonmu, Nak!".
Saya tak pernah berhenti berusaha seperti juga saya tak pernah berjanji akan membawa calon ke hadapannya tepat di hari fitri. Juga tidak lebaran saat itu.Â
Ketika ia tak terlihat di kursi sebelah, dan tak juga saya temukan di toilet gerbong. Bahkan jejaknya tak ada mulai dari lokomotif hingga ekor gerbong. Ia tak terdeteksi.Â
Saya tanyakan ke petugas, katanya "Tak ada penumpang di kursi sebelah saya sejak tadi".
"Ah, mana mungkin! Ini tiketnya" sodor saya.Â
Petugas hanya menggeleng-geleng dan pergi begitu saja. Saya cemas.Â
Jadi teringat bibi, adik kandung ibu yang pernah dicari-cari di bus transjakarta pada satu kesempatan bepergian bersama, yang ternyata tertinggal di salah satu halte bus transjakarta.Â