Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Jejak Surga Seorang 'Ckloiderean (1)

30 November 2022   18:35 Diperbarui: 30 November 2022   18:43 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Tahun pertama tempat ia dan suami mengadukan peruntungan nasib keluarganya di ibu kota dengan mengontrak rumah di sekitaran wilayah Grogol, dan merupakan tahun tersulit yang harus dilalui. Selain harus memikirkan biaya kontrak, biaya hidup untuk anaknya yang ketika itu sudah empat, ia dan suami juga dihantui hiperinflasi dan kejadian gerakan 30 September di tahun itu.

Ia tahu mengapa suaminya memilih urban dan meninggalkan pekerjaan di tempat tinggal asal mereka, di Cirebon. Tempat kali pertama keduanya bertemu dan saling mengenal, memadu kasih dan akhirnya memutuskan menikah. Ia tahu bahwa suaminya memiliki semangat untuk mengubah perekonomian keluarga dari sekadar berharap gaji bulanan yang besarnya tidak seberapa sebagai seorang guru. Ia juga tahu bahwa suaminya dijanjikan pekerjaan yang jauh lebih baik dari sisi penghasilan oleh seseorang yang masih terbilang kerabat dekat.

Sebelum pada akhirnya mulai tahun 1970-an tidak bekerja sama sekali, selain pernah mengajar ia mengingat bahwa suaminya pernah bekerja rantau di luar Jakarta dan bekerja di pengelolaan emas.

Ia tidak lupa dengan kebersamaan mereka saat melalui masa-masa sulit.  Walaupun baginya setiap kesulitan pasti bisa dilewati tanpa kendala selama dijalani dengan kesabaran, kejujuran, keikhlasan yang dibarengi ibadah, keyakinan dan doa. Tetapi tidak dari sudut pandang anak-anaknya, yang melihat dan merasakan langsung apa yang dialami, dan tidak memiliki tingkat kesabaran, kejujuran dan keikhlasan yang sama dengan dirinya. Bagi anak-anaknya, setiap tahun, bulan, minggu bahkan hari diliputi masa-masa sulit.

Anak-anaknya ingat bagaimana mereka ikut membantu dirinya berjualan kudapan yang dijajakan kepada teman-teman sekolah. Terjaga di sepertiga malam untuk menyiapkan alat dan bahan lalu bergegas mengejar waktu dalam memproses pembuatan kudapan agar usai tepat sebelum anak-anaknya berangkat sekolah. Mereka juga ingat bahwa keuntungan dari menjual kudapan itu tak banyak menolong.

Sesekali anak-anaknya mengingat kesulitan dari apa yang mereka makan. Suaminya, yakni ayah dari kesembilan anaknya bertugas menggantikan statusnya di rumah. Tetapi tentu tidak selalu, karena tahun-tahun berikutnya, di antara kesembilan anaknya ada yang telah tumbuh dewasa dan berperan serta dalam menggantikan tugas dirinya di rumah.

"Ayah, makan ada lauk apa?" Pertanyaan  sederhana dari anak-anaknya sepulang sekolah yang seringkali dijawab dengan sederhana pula oleh ayah mereka. Lantaran sang ayah terbiasa memasak nasi dengan lauk-pauk apa adanya bahkan seringkali tanpa lauk-pauknya.

 "Lihat saja dahulu ke dapur, Nak!" Namun alasan sang ayah bukan  sebab tak bisa memasak, melainkan keuangan mereka yang harus dicukup-cukupi untuk persediaan satu bulan.

Dan kerap kali setelah anak-anaknya pergi ke dapur untuk melihat. Tidak jarang yang tersaji hanya nasi dan lauk-pauk ala kadarnya. Beberapa kali tampak nasi saja di atas meja.

"Ah. Ayah. Kali ini lauk apa yang bisa kita beli? Kerupuk? Sebutir telur?...atau?"

Lain waktu mereka berkata, "Ayah! Hari ini nasinya kita campur apa? Tumis oncom? Terasi? Garam?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun