Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Jejak Surga Seorang 'Ckloiderean (1)

30 November 2022   18:35 Diperbarui: 30 November 2022   18:43 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

CINTA 

Aku menyebutnya ckloiderean. Seorang wanita pekerja yang berjuang tak kenal lelah untuk menghidupi keluarga. Tubuh dan tungkai-tungkai kurusnya disodorkan aktif setiap hari pada semesta tanpa keluh dan peluh. Varises yang menyembul dan merambat di sepanjang kulit kakinya menggambarkan jarak dan waktu yang telah ditempuh dalam perjalanan pergi pulang di sepanjang hidupnya.

Tanggung jawab dan besarnya rasa cinta pada keluarga senantiasa menerbangkan jasad dan jiwanya kembali pulang. Ke sebuah rumah tinggal yang dibelinya dengan bertahap, yang setiap tahapnya menamparkan ironi.  Malang di kemudian hari, surat bukti pembelian atas tanah dan rumah yang telah ditinggalinya lebih dari tiga puluh tahun dibuat bermasalah oleh orang tak bertanggung jawab.

Ia bukan wanita kuat secara fisik. Ia seringkali tampak lemah tetapi tidak melemahkan. Kekuatan mentalnya menopang kesehatan fisiknya sampai tiba di masa pensiunnya.  Tutur katanya lembut bersahaja. Di lingkungan tinggalnya dulu, pada masa ketika penerangan masih didominasi petromaks, pelita, atau obor kayu, ia cukup dikenal karena kebaikannya.

Batinnya teruji sejak mulai menghidupi keluarga seorang diri. Ia seorang ibu, istri, sekaligus pencari nafkah untuk membiayai kebutuhan hidup kesembilan anaknya. Iya. sembilan. Itu masih ditambah dengan seorang suami yang tidak lagi bekerja. Tetapi ia jalani semua dengan ikhlas dan penuh cinta.

Bulan Agustus tahun 1990 jejak surganya menapakkan kesedihan atas rasa kehilangan. Kala itu ia tepekur di sisi sebuah ranjang dalam kamar sebuah rumah sakit di Jakarta. Sudah beberapa hari ia menemani suaminya yang terbaring sakit akibat gangguan usus akut. Meskipun begitu belum ada diagnosa apapun untuk kondisi sang suami yang terbilang sudah mengkhawatirkan.

Caranya menemani, merawat dan menjadi satu-satunya penanggung jawab pembiayaan atas pembayaran rumah sakit menunjukkan betapa keikhlasan dan rasa cinta memenuhi ruang kalbunya. Jarang ada wanita yang selama dua puluh tahun lebih tidak diberi nafkah lahir, dicurigai, dibebani membiayai hidup sembilan orang anak tapi hatinya menetap dan tidak beranjak dari satu laki-laki. 

Pagi itu semua anaknya sudah berkumpul. Pun handai tolan, sanak keluarga dan para tetangga yang tertahan menanti kabar ketika berniat membesuk. Beberapa di antaranya baru saja terbangun dari dinginnya lantai koridor rumah sakit setelah ikut menemani sejak malam tadi. Hari itu kabarnya, dokter yang menangani proses penyembuhan suaminya akan memberikan kepastian tindakan lanjutan.  

Ia menerima semua keterangan yang dokter berikan dengan tegar. Bukan tindakan lanjutan. Kondisi suaminya dinyatakan tak akan mampu bertahan lebih lama. Semua cara dan kemungkinan buntu. Dokter dan pihak rumah sakit angkat tangan. Hidupnya sejauh ini disebut atas bantuan jarum suntik yang dialiri cairan dan terhubung melalui selang ke tabung infus, serta selang oksigen yang terhubung ke tabung gas. Suaminya sangat direkomendasi untuk dibawa pulang hari itu.

Air matanya tampak mulai menyusun rencana di kelopak. Tergenang dan tertahan di sudut matanya. Ia tak ingin terlihat rapuh. Untuk apa menangis? Semua kejadian baginya adalah ketentuan dari gusti Allah. Jika pun dipulangkan ke rumah tanpa jarum suntik, cairan infus, selang dan tabung gas, toh penentu hidup tetap sang pemilik alam.

Tubuh yang telah lama terbaring itu akhirnya diantar pulang dengan menggunakan ambulans. Kendaraan medis itu melesat cepat melintasi jalan Kyai Tapa, Grogol, dan jalan Daan Mogot Raya. Tetapi lintasan itu mengingatkannya ke masa dua puluh lima tahun lalu saat ia dan suami menginjakkan kaki di Jakarta pada sekira tahun 1965.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun