Gunungkidul -- Setiap orang memiliki cara tersendiri untuk mengungkapkan kecintaannya pada budaya. Cinta budaya adalah ekspresi kesadaran, kebanggaan, sekaligus tindakan nyata untuk menjaga dan melestarikan warisan nenek moyang. Ia menjadi bentuk penghargaan terhadap identitas bangsa sekaligus upaya memastikan keberlangsungan budaya bagi generasi mendatang.
Hal inilah yang diwujudkan oleh Karang Taruna Dusun Pragak Bendorejo, Semanu, Kabupaten Gunungkidul. Dengan penuh semangat, mereka mementaskan kesenian ketoprak yang dimainkan warga setempat, lengkap dengan iringan gamelan dari masyarakat dusun tersebut.
Ketoprak adalah seni drama tradisional Jawa yang menggabungkan unsur drama, tari, musik, dan sastra. Kesenian ini biasanya menampilkan kisah legenda, sejarah, maupun kehidupan masyarakat Jawa, dan diiringi gamelan. Di Yogyakarta, kesenian ini dikenal dengan nama Ketoprak Mataram---dahulu hanya dipentaskan di lingkungan keraton sebagai tontonan sakral, namun kini sudah menjadi hiburan rakyat.
Salah satu ciri khas ketoprak adalah keprak, yakni kentongan kayu yang dipukul oleh sutradara atau penata adegan setiap kali terjadi pergantian babak. Ritmenya disesuaikan dengan suasana adegan. Misalnya, ketika adegan perang, suara keprak akan dipukul lebih cepat dan keras.
Â
Lakon Suminten Edan
Pada Sabtu (23/8/2025), paguyuban ketoprak gabungan Karang Taruna Cahyo Suminar dusun Bendorejo dan Manggala Bakti dusun Pragak, Cahyo Manggolo; mementaskan lakon legendaris Suminten Edan di halaman Balai Dusun Bendorejo. Pementasan menggunakan tobong atau tonil---lukisan realis sebagai latar yang menyesuaikan adegan di atas panggung.
Lakon Suminten Edan cukup populer di dunia ketoprak. Kisahnya tentang cinta segitiga antara Roro Suminten---putri Warok Secodarmo, Cempluk Warsiyah---putri Warok Suromenggolo, dan Subroto---putra Adipati Trenggalek yang tampan serta calon pengganti ayahandanya.
Cerita bermula saat Adipati Trenggalek hendak menjodohkan Subroto dengan Suminten sebagai balas budi atas jasa ayahnya. Namun Subroto menolak karena menganggap Suminten, gadis desa, kurang pantas menjadi pendamping calon adipati. Penolakan itu membuat Suminten sakit hati hingga jatuh dalam kegilaan.
Subroto kemudian jatuh cinta pada Cempluk Warsiyah, yang justru diincar Joko Gentho---putra Warok Surobangsat yang buruk rupa. Konflik pun berkembang, dari kisah cinta segitiga menjadi drama asmara empat tokoh dengan intrik yang penuh emosi.