Mohon tunggu...
Ummi Azzura Wijana
Ummi Azzura Wijana Mohon Tunggu... Guru - Music freak

Sumiatun a.k.a Ummi Azzura Wijana, menulis di media cetak, antara lain: Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Sabana, Realita Pendidikan, Magelang Ekspres, Jaya Baya, Panjebar Semangat, Djaka Lodang, Karas, dll. Buku antologi bersamanya: Inspirasi Nama Bayi Islami Terpopuler (2015), Puisi Penyair Lima kota (2015), Pelangi Cinta Negeri (2015), Di antara Perempuan (2015), Wajah Perempuan (2015), Puisi Menolak Korupsi 4 (2015), Puisi Menolak Korupsi 5 (2015), Jalan Remang Kesaksian (2015), Puisi Kampungan (2016), Memo Anti Terorisme (2016), Pentas Puisi Tiga Kota dalam Parade Pentas Sastra I/2016 Yogya (2016), Wajah Ibu, Antologi Puisi 35 Penyair Perempuan (2016), Puisi Prolog dalam Buku Sang Penjathil (2016), Antologi Cerpen Gender Bukan Perempuan (2017), Kepada Hujan di Bulan Purnama (2018), dan Profil Seniman Cilacap (2019). Buku lain yang telah terbit: Buku Pintar Kecantikan Muslimah (2014), Flawes Makeup Bagi Pemula (2019), dan Bali Jawa (2020), Pendidikan dalam Refleksi Guru Penulis (2023), Dasar-dasar Kecantikan dan SPA Kelas X SMK (2023). Prestasi yang diukir di dalam dunia pendidikan: finalis Lomba Karya Inovasi Tingkat Nasional tahun 2013, juara I Lomba Guru Berprestasi Tingkat Kota Magelang tahun 2014-2015, dan finalis Lomba Guru Berprestasi Tingkat Provinsi Jawa Tengah tahun 2014- 2015. Prestasi yang diraih di dalam dunia literasi: juara I dalam Lomba Cipta Puisi Event Merah Putih di RTC Kompasiana (2015), juara II dalam Pelangi Cinta Negeri Kompasiana (2015), juara I dalam Lomba Cipta Puisi Elegi Fiksiana Community Kompasiana (2016), juara II dalam Lomba Menulis Pahingan #1 Komunitas Save Pahingan (2017).

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kenangan "Dolanan Long Bumbung" dan Budaya "Golek Apem"

3 Juni 2018   07:29 Diperbarui: 3 Juni 2018   08:39 1311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puasa di bulan Ramadhan seperti ini mengingatkan saya pada masa kecil dulu. Ibu bangun jam 2 pagi, masak untuk kami. Lalu saat imsyak semua sudah selesai, bergegas ke masjid untuk sholat subuh berjamaah. Meskipun jarak rumah dengan masjid agak jauh, kami tetap semangat. 

Rumah kami yang berada di pinggir kampung, minim penerangan lampu jalanan. Karena waktu itu listrik yang digunakan untuk penerangan jalan hanya di jalan utama. Bergegas kami ke Masjid.

Saat taraweh pula tak ada bedanya. Saat saya masih belum SD, kakak saya selalu mengajak sholat taraweh. Waktu itu kami membawa senter sebagai alat penerang. Jalan masih tanah, becek saat hujan. Kadang-kadang membawa payung ke masjid, kami tetap semangat.

Adik sayapun tak luput dari cerita pada bulan puasa masa kecil saya. Saat kakak kami sudah berkeluarga, Ibu kurang sehat, Bapak menemani ibu di rumah. Kami berdua ke masjid. Saat keluar rumah, Bapak berdiri di jalan depan rumah. Mengawasi kami berdua yang berjalan beriringan dalam gelap.

Memasuki Zona Gelap

Pernah suatu saat, adik saya mau tidur di masjid. Saya pulang sendirian dari masjid usai taraweh. Karena jarak rumah terakhir dengan rumah saya lumayan jauh, banyak pohon jati tinggi. Gelap, lampu di depan rumah masing-masing hanya 5 Watt, warna kuning. Jadi bisa dibayangkan suasana yang remang-remang merinding (hehehe).


Namanya juga anak kecil, masih punya rasa takut, sisa hujan yang jatuh di antara daun jati bunyi 'pating tlethok', membentuk irama tersendiri. Sambil jalan saya membayangkan ada bayangan syetan warna hitam, tinggi besar menghadang saya. Padahal syetan tidak punya bayangan, ya? Namanya juga imajinasi anak zaman 'old' waktu itu.

Saat akan memasuki zona gelap, saya sudah deg-degan. Padahal waktu itu hujan, jalan masih tanah, basah dan becek. Saya lari seribu langkah. Wussshh!

Pas sampai jembatan kayu kecil saya terpeleset. Sandal jepit saya terselip di antara jembatan kayu tersebut. Saya panik, antara takut dengan kemunculan bayangan hitam yang mungkin saja tiba-tiba menghampiri saya dan ingin berlari.

Akhirnya saya lari, tak memerdulikan sandal tinggal satu yang saya pakai sambil teriak, "Bapak, Bapak, Bapak!" Begitu. Dasar nasib orang takut ya, karena sandal yang saya pakai tinggal satu, saya malah terpeleset.

Bruk!

Duh, Gusti. Batin saya. Tapi masih ingat takut, saya lari lagi. Sudah tidak peduli dengan sandal, ataupun mukena dan sajadah yang jatuh. Saya bangun masih sambil teriak-teriak memanggil Bapak.

Bapak saya baru keluar rumah setelah saya hampir mendekati rumah. Saya langsung masuk rumah, ndlosor terduduk. Bapak sama Ibu saya malah cengar-cengir setelah saya ceritakan kalau saya takut bayangan hitam yang sebenarnya hanya ada dalam bayangan. Dalam angan-angan tak muncul nyata.

Akhirnya, malam-malam saya harus mandi. Mukena, sajadah, sandal yang tertinggal baru diambil keesokan harinya. Akhirnya setiap berangkat ke masjid kami diantar Bapak sampai jembatan kayu kecil, di sana sudah agak terang.

Masih jelas dalam ingatan saya, dulu jalan gelap tersebut kira-kira 100 meter, berada di pinggir pematang ladang. Ada banyak pohon jati tinggi dengan daunnya yang rimbun. Juga terdapat pohon Asem yang tingginya 20 meter dengan diameter cukup besar. Jika dipeluk lengan orang dewasa tak cukup. Daunnya juga rimbun, menambah suasana tambah serem. Tapi karena tekad kami ke masjid sangat besar, rintangan itu setiap malam kami lewati.

'Dolanan Long Bumbung'

Jika saya ingat-ingat, ternyata teman saya waktu kecil lebih banyak teman laki-laki daripada perempuan. Teman perempuan biasanya teman sekolah. Kebetulan kakak kedua saya laki-laki sering bawa temannya, begitu juga adik laki-laki saya. Tetangga paling dekat juga laki-laki.

Dolanan Benthik. Sumber: gedangsari.com
Dolanan Benthik. Sumber: gedangsari.com
Akhirnya, ketika main, saya sering bersama mereka. Saat Minggu pagi, kami jalan-jalan dan dilanjutkan main 'benthik', main gangsing, egrang, dan main kelereng. 

Belalang. Sumber: yogya.co
Belalang. Sumber: yogya.co
Pada saat libur sekolah tiba, menjelang lebaran kami gunakan untuk mencari belalang. Makanan khas Gunungkidul, di mana sekarang harganya meroket.

Main Kelereng. Sumber: says.com
Main Kelereng. Sumber: says.com
Pada kesempatan lain kami main 'long bumbung'. Yaitu sejenis petasan yang terbuat dari bambu, bagian tengahnya dilubangi. Tapi bagian bawah tertutup, bagian atas dibuka. Berbekal minyak pet dan korek kami main. Mainan ini menimbulkan bunyi boom! Yang keras. Serunya mainan ini kami berlomba adu keras bunyi 'long'nya. Semakin besar 'bumbung', batang bambu semakin besar dan keras suaranya.

Sumber: meteorpost.com
Sumber: meteorpost.com
Ada kejadian menggelikan waktu itu. Saat sedang main, disulut dengan api, tidak bunyi. Tapi api masih dalam bambu. Supaya bunyi, harus ditiup. Adik saya yang kecil tidak kuat meniupnya, akhirnya saya yang meniup.

'Brrrrrr', slet, duar!

'Long' kami bunyi. Tapi apa yang terjadi, api arahnya berbalik. Menjilat muka saya, tapi tidak sampai terluka. Hanya saja, rambut alis dan bulu mata saya habis terbakar terjilat api. Hahahaha, kalau ingat masa itu saya jadi tertawa sendiri. Kamipun tidak kapok, main 'long bumbung', mainan tetap dilanjutkan.

Budaya 'Golek Apem'

Meski kami masih kecil, main dengan menghabiskan tenaga dan tenggorokan kering, puasa kami bisa sampai hari terakhir. Pada saat hari terakhir ini, biasanya kami sudah berkumpul bersama teman kecil saya. Sambil membawa tas plastik, kami siap beraksi.

Aksi apa itu? Yaitu aksi 'golek apem'. Apem adalah penganan yang waktu itu hanya dimasak saat lebaran saja. Sehari sebelum lebaran sudah siap. Setiap rumah menyediakan apem untuk dibagi-bagi pada anak-anak.

Anak-anak kecil berkeliling dari rumah ke rumah untuk minta apem. Jika beruntung, ada tuan rumah yang memberikan uang sebagai hadiah telah selesai melaksanakan puasa.

Kue Apem. Sumber: tokomesin.com
Kue Apem. Sumber: tokomesin.com
Sungguh bahagia sekali masa kecil dulu. Permainan dan peristiwa yang tak mungkin terulang. Namun selalu saya kenang sebagai bagian dari cerita hidup saya.

Jika saat ini anak-anak tak terpenjara dalam kotak android, 20 tahun lagi mungkin mereka akan dapat menceritakan kembali kenangan masa kecilnya.

Sayang sekali, teknologi pelan-pelan menghapus dunia anak-anak yang asyik dan menyenangkan. Mungkin ada sedikit usaha untuk mengembalikan permainan-permainan kreatif anak agar tak melulu di depan gadged dengan main game. Sejenak mari kita jauhkan anak-anak dari gadged, dan mengajak mereka bermain di luar rumah yang nyata dan lebih indah. (Ummi Azzura Wijana)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun