Mohon tunggu...
Sumiarti Haryanto
Sumiarti Haryanto Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik

suka humor, sentimentil, suka membaca apa saja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Testimoni dari Anak Muhammad-NU

5 September 2015   23:28 Diperbarui: 5 September 2015   23:28 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya tidak bermaksud meramaikan perdebatan dan khilafiyah tentang boleh tidaknya seseorang berkirim al fatihah, membaca Yasin, dan lain-lain bagi orang yang sudah meninggal. Biarlah itu menjadi perdebatan para ahlinya yang memiliki dalil dan argumentasi masing-masing. Berdasarkan fakta selama ini, perbedaan pendapat mengenai hal tersebut tidak pernah selesai dan semakin banyak dibahas, maka akan semakin sengit dan tidak ada ujungnya. Ujungnya kembali kepada keyakinan masing-masing.

Sebagai orang awam... saya hanya akan urun rembug dari sisi sederhana kemanusiaan saya dan pengalaman saya sehari-hari sebagai muslim.

Saya terlahir dalam keluarga yang berbeda organisasi Islam. Ibu dan keluarganya adalah anggota organisasi Muhammadiyah. Sedangkan ayah dan keluarga adalah anggota jamiyah Nahdatul Ulama. Sejak saya kecil---tepatnya sejak saya memahami sedikit demi sedikit tentang Muhammadiyah dan NU-- saya sudah sering mendengarkan perdebatan orang tua saya mengenai amaliyah ibadah sehari-hari. Kadang tidak hanya berdebat, tapi menjadi pertengkaran yang sangat sengit. Saya hanya bisa melongo tidak mengerti saja.

Seingat saya, ibu saya selalu memerintahkan saya untuk mengaji di masjid Muhammadiyah, dan perintah ini harus dituruti. Tak kalah, ayah saya pun memerintahkan saya mengaji di masjid NU. Saya bingung. Akhirnya campur-campur saja. Sore hari saya mengaji di masjid Muhammadiyah, malam hari saya mengaji di masjid NU. Saya menikmatinya saja karena banyak teman. Waktu itu tidak berpikir macam-macam. Maklumlah, anak SD dan berlanjut sampai saya SMP.

Ketika SMA, saya mulai berpikir dan menanyakan berbagai hal yang dulu sering diperdebatkan orang tua dan saudara-saudara. Termasuk perdebatan masalah yasin, tahlil, qunut, dan sebagainya. Saya --tanpa pretensi apapun ketika itu--sering bertanya kepada orang tua atau guru ngaji saya, antara lain:

1. Kenapa orang yang mau meninggal dibacakan Yasin?

2. Kenapa ada slametan dan tahlilan?

3. Apakah orang yang sudah meninggal perlu didoakan? dan seterusnya.

Kadang saya tidak paham kalau masing-masing berdebat tentang dalil dan argumentasinya. Saya kemudian berbalik bertanya:

1. Kalau tidak dibacakan Yasin, bolehkah dibacakan bacaan yang lain? bacaan yang lain itu surah yang lain dalam Al Qur'an atau apa? Bolehkan saya menghiburnya dengan menceritakan hal-hal yang baik di telinganya? atau saya harus mengatakan apa?

2. Kalau tidak ada slametan atau tahlilan, apa yang bisa dilakukan oleh keluarga yang ditinggalkan? Kadang saya melihat rumah almarhum/ah sangat ramai karena orang berbicara ngalor ngidul atau justru sepi mencekam jika sudah tidak ada sanak saudara yang berkunjung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun