Mohon tunggu...
Sumarni Bayu Anita
Sumarni Bayu Anita Mohon Tunggu... Dosen -

Dosen Ilmu Komunikasi STISIPOL Candradimuka Palembang, Penulis Buku "Pempek Palembang", Blogger, Suka Nonton + Kuliner + Travelling + Research

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Relevansi Tes Keperawanan dan Budaya Mengancam

22 April 2010   07:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:39 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering


Anda yang tadi memberikan sosialisasi di SMA ... kan?
Benar.

Anda yang tadi membicarakan tentang .... (sebuah institusi sekolah tinggi kedinasan) di sosialisasi tersebut?
Benar.

Saya mewakili Forum Alumni ... menyatakan tidak senang atas pembicaraan Anda tentang institusi kami? Kenapa Anda harus cerita hal tersebut di depan publik dengan menyebutkan nama institusi kami?
Lho???

Ini sebuah kejadian nyata. Baru saja terjadi, mungkin sekitar 9 jam lalu sampai kemudian saya membuat tulisan ini. Begitu jarangnya hal-hal seperti ini terjadi dalam hidup saya hingga membuat saya mendadak insomnia dan memutuskan untuk menulis saja.

Saya bekerja sebagai marketing di sebuah institusi bimbingan belajar. Hal ini membuat saya banyak mengunjungi sekolah-sekolah untuk memberikan sosialisasi atau dalam bahasa kami menyebutnya ”motivasi” agar adik-adik di sekolah tersebut melakukan hal lebih dalam belajar sehingga apa yang mereka cita-citakan di dunia pendidikan dapat kami bantu mewujudkannya. Sekolah yang saya kunjungi tak hanya di wilayah Kota Palembang, namun juga di beberapa kabupaten/kotamadya yang ada di wilayah Provinsi Sumatera Selatan. Adapun kejadian ini terjadi di salah satu kabupaten/kotamadya tersebut ketika kami tengah melakukan road motivation untuk sebuah program intensif yang akan dilaksanakan beberapa bulan lagi.

Saya juga merupakan alumni dari salah satu sekolah unggulan di Kota Palembang. Dan ketika saya mengunjungi sekolah unggulan di salah satu kabupaten/kotamadya tersebut saya sempat merasakan ’dejavu’ karena suasana sekolahnya sangat mirip dengan sekolah saya dulu. Terlebih pimpinan sekolah tersebut adalah juga mantan guru saya di sekolah unggulan di Kota Palembang. Pertama kali berjumpa dengan mantan bapak guru saya itu pun, saya disapanya dengan sebuah kenangan yang hampir dapat saya lupakan. Sebuah kejadian yang begitu membekas sehingga kalau saya ceritakan kepada orang lain seringkali menimbulkan efek keterkejutan: kok bisa?

Kedekatan dengan pimpinan sekolah itu juga membawa suasana dalam diri saya bahwa seolah-olah saya bagian dari sekolah tersebut. Saya merasa adik-adik yang sekolah di sana adalah adik tingkat saya yang wajib saya berikan pengarahan yang terbaik yang bisa saya lakukan. Termasuk ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan seputar program dan pengalaman pribadi saya sendiri. Salah satunya, yakni pertanyaan tentang apakah saya masuk universitas yang saya pilih karena lulus SNMPTN atau tidak?

Lalu, cerita pun mengalir. Bahwa, saya memang masuk universitas ternama di Yogyakarta setelah saya tahu bila saya tidak lulus SNMPTN (dulu namanya SPMB). Saya kemudian memilih ikut tes D3 yang memang dilaksanakan pasca pengumuman SNMPTN dan lulus. Saya menyamakan diri masuk ke golongan S1 dengan melanjutkan kuliah di sebuah universitas negeri di Solo. Dan, saya juga patut bersyukur bila keduanya saya akhiri dengan IPK di atas angka 3,6. Saya hanya ingin membuktikan bila tidak semua yang tidak lulus SPMB itu bodoh. Di antara mereka, seperti halnya saya, harus menelan pil pahit tidak lulus SPMB karena kurang siap menghadapi ujian di hari H. Saya berharap pengalaman ketidaksiapan saya, tidak terjadi pada adik-adik yang ada di kelas itu. Mereka bisa segera memutuskan untuk ikut program bimbingan belajar agar bisa mempersiapkan diri menghadapi SNMPTN jauh lebih baik.

Faktor ketidaksiapan saya sebenarnya terjadi karena saya benar-benar tidak melakukan persiapan apa-apa untuk ikut tes SPMB. Menjelang kelulusan, saya terfokus untuk masuk di sebuah sekolah tinggi kedinasan yang ada di pulau Jawa. Mungkin karena saya benar-benar menginginkannya, atau juga mungkin karena almarhum bapak saya yang berjiwa militer yang benar-benar menginginkan saya untuk masuk ke sana. Yang jelas, saya cukup disibukkan dengan kegiatan melengkapi berkas-berkas agar bisa lulus administrasi sekolah tinggi kedinasan tersebut.

Kelengkapan administrasi ternyata bisa dilalui. Begitu pun dengan tes akademik, saya juga lulus. Kemudian tiba di tes selanjutnya, yakni tes kesehatan. Di sinilah, saya kemudian melakukan pilihan hidup yang mungkin sampai detik ini benar-benar memberikan kekuatan bagi saya bahwa sayalah yang memegang kendali atas hidup yang ingin saya jalani. Di tes kesehatan yang dilakukan di salah satu rumah sakit milik institusi militer ini kami harus mengikuti serangkaian tes yang mungkin akan menjadi acuan apakah kami layak untuk ikut tes selanjutnya ataukah terhenti sampai di situ. Dalam satu hari itu, saya dengan ratusan peserta tes lainnya harus melakukan tes kesehatan mata, gigi, jantung, tinggi dan berat badan, dan yang terakhir, tes keperawanan.

Mungkin ada tes kesehatan yang lain, tapi bagi saya, tes keperawanan adalah tes terakhir yang saya tahu ada. Hal ini karena ketika saya dipanggil untuk masuk ke ruang tes, saya kemudian dengan suara jelas kepada pak dokter yang juga memiliki jabatan rangkap di institusi militer tersebut menyatakan diri untuk tidak mengikuti tes sehingga saya langsung dinyatakan gugur. Masih kuat dalam benak saya kenangan hari itu, ketika saya awalnya sembunyi di samping gedung agar pura-pura ketika nama saya dipanggil, saya tidak mendengarnya. Tapi akhirnya, saya memutuskan untuk tetap masuk ke ruangan bersama 4 peserta tes wanita lainnya ketika nama saya benar-benar dipanggil. Ketika yang lainnya sudah bersiap-siap untuk diperiksa, saya masih tetap berpakaian lengkap bahkan dengan jilbab yang saya kenakan. Akhirnya, ketika nama sayapun dipanggil lagi untuk naik ke meja periksa, dari ruang tunggu saya malah masuk untuk duduk di hadapan meja dokter dan menyatakan bahwa saya tidak mau mengikuti tes keperawanan. Saya juga masih ingat pernyataan saya sesudahnya, bila saya percaya, ada jalan hidup lain yang juga baik bahkan akan lebih baik yang akan saya jalani. Tidak ada wajah marah di dokter itu, dia hanya menyodorkan formulir data saya yang harus saya isi dengan pernyataan bahwa saya mengundurkan diri dari tes dan langsung dinyatakan gugur. Sempat terbersit wajah almarhum bapak saya yang masih ada ketika itu, namun segera saya hapus, dan langsung menandatangani formulir itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun