Mohon tunggu...
sulyana dadan
sulyana dadan Mohon Tunggu... Ketua Jurusan Sosiologi Fisip Unsoed

Dosen peminat kajian budaya dan fenomena sosial kontemporer

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Eksistensi Budaya Banyumas, Dulu dan Kini

7 April 2025   23:16 Diperbarui: 7 April 2025   23:16 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Salah satu jenis identitas yang dimiliki oleh manusia adalah identitas budaya. Menurut Stuart Hall (1992) identitas budaya adalah berbagai aspek dari identitas seseorang yang muncul dari "kepemilikan" orang tersebut terhadap perbedaan etnis, ras, bahasa, agama dan identitas kebangsaannya. Sementara Chris Barker (2000) menyatakan bahwa identitas budaya adalah gambaran makna yang terkait dengan nominasi diri hasil pemberian orang lain. Penjelasan Hall dan Barker tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa identitas budaya bukanlah sesuatu yang apa adanya (taken for granted), tapi hasil konstruksi sosial.

Ada dua cara pandang untuk mengkaji identitas budaya. Pertama, cara pandang kaum esensialis yang melihat identitas budaya sebagai wujud (being). Kedua, cara pandang non-esensialis yang melihat identitas budaya sebagai proses menjadi (become) yang berlangsung terus menerus (Hall, 1990). Kaum esensialis berasumsi bahwa identitas budaya merupakan hal yang stabil/ ajeg dan dan menyediakan kerangka acuan dan pemaknaan dari satu generasi ke generasi lainnya. Kaum non-esensialis berfikir sebaliknya, bahwa identitas budaya adalah sebuah persoalan "menjadi" bukan sekedar "wujud". Identitas budaya bersifat menyejarah, mengalami transformasi terus menerus; melanjutkan "permainan sejarah", budaya dan kekuasaan.

Pendapat Hall di atas sejalan juga dengan gagasan David Cavallaro (2004) dan Manuel Castells (2007) bahwa identitas memiliki material berupa sejarah, geografi, memori kolektif, khayalan pribadi dan aparatus kekuasaan. Oleh karena itu, identitas budaya memiliki keterbukaan untuk digeser dan diubah. Kestabilan dan keabadian identitas budaya hanyalah sekumpulan sementara yang dirancang untuk  mewujudkan makna ideologis, kepercayaan dan sistem nilai yang melekat di dalamnya.

Jadi, ketika berbicara identitas budaya, bukan pertanyaan "siapa kita" atau "dari mana kita berasal" yang selalu dicari, tapi pertanyaan "kita akan menjadi apa" dan "bagaimana kita direpresentasikan" serta "bagaimana kita merepresentasikan diri", adalah pertanyaan penting yang harus kita jawab. Mengapa? Karena kita tengah berada dalam arena kontestasi budaya global.

Menelisik Identitas Budaya Banyumas: Dulu dan Kini

Penelitian tentang identitas Budaya Banyumasan sudah banyak dilakukan. Berbagai artefak budaya sudah dieksplorasi; dari naskah kuno, kesusastraan, seni tradisional sampai produk budaya kontemporer seperti film, televisi, siaran radio dan lain-lain. Penelitian dilakukan oleh sejarahwan, budayawan dan pakar ilmu sosial lainnya. Sebagian penelitian tersebut ada yang menghasilkan temuan yang sama dan ada pula yang relatif berbeda.

Priyadi (2003), seorang sejarawan Banyumas yang konsisten meneliti berbagai babad sejarah Banyumas, dalam salah satu hasil penelitiannya menyebutkan bahwa budaya  Banyumas adalah budaya tanggung. Banyumas berada di titik silang budaya besar yakni Jawa-Sunda, namun kejawaan atau kesundaan orang Banyumas tidak mendalam. Percampuran dua budaya tersebut membentuk kebudayaan baru dan juga membentuk karakter masyarakat Banyumas yang khas. Inti karakter manusia Banyumas adalah cablaka (Priyadi, 2007). Karakter lainnya; orang Banyumas adalah pencari kejayaan dan keemasan, suka memberontak, sering berkonflik,  pekerja keras, egaliter, vulgar, afirmatif sekaligus kritis.  

Sementara itu menurut Suhardi (2013) yang meneliti sejumlah karya sastrawan Ahmad Tohari, budaya Banyumasan tak sekedar dialek Banyumasan. Beberapa watak masyarakat Banyumas yang menjadi karakter orang Banyumas adalah kelugasan, egaliter dan semangat ksatria. Hal ini tergambar jelas dalam penggambaran tokoh-tokoh dalam karya sastra Ahmad Tohari seperti Senyum Karyamin dan Kaki Bukit Cibalak. Selain itu dalam beberapa ceritanya Tohari mencoba menunjukan khasanah bahasa Banyumas melalui pemberian nama-nama tokoh fiksinya, seperti Kenthus, Blokeng, Cablaka, Kanjat, Bambung dan Martacarub. Peneliti lain yang mengkaji karya-karya sastra Banyumasan adalah Trianton (2013) juga menemukan kelugasan dalam berbagai karya sastra sastrawan Banyumas sebagai ciri masyarakat Banyumas. Namun Trianton memberi catatan, bahwa identitas apapun termasuk konstruksi identitas masyarakat Banyumas akan terus bergerak selaras dengan perkembangan peradaban. Identitas Banyumas bisa mengalami pergeseran, perubahan, lentur atau suatu saat bisa luntur.

Selain karya sastra, berbagai pertunjukan seni khususnya tari-tarian Banyumasan juga mencerminkan identitas Banyumasan. Indriyanto (2001) yang meneliti perkembangan tarian Banyumasan menemukan bahwa  sebelum tahun 1970, tari-tarian di Banyumas masih bergaya keraton karena masih menganggap keraton sebagai model terbaik dalam pengembangan seni tari. Baru pada awal  tahun 70-an, setelah di wilayah Banyumas didirikan Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI), secara perlahan tarian Banyumas berkembang. Sampai saat ini banyak tarian Banyumasan yang mencerminkan identitas masyarakat Banyumas baik sebagai masyarakat agraris maupun penggambaran watak cablakanya, seperti tari gambyong Banyumasan, tari Baladewa, cipit-cipit, jalung mas, ebeg dan lain-lain.  Peneliti lainnya, yakni Meliono (2012) justru menemukan adanya keterkaitan antara perkembangan tarian Banyumasan dengan politik identitas. Politik identitas tersebut dapat terlihat dari upaya mengeksistensikan berbagai seni tradisional, salah satunya yang dilakukan oleh komunitas sanggar seni " Banyu Biru" di Desa Plana Kecamatan Somagede Kabupaten Banyumas. Komunitas ini sering menggelar tari Lengger Banyumasan, sebagai wujud perlawanan terhadap budaya pop yang sering dipertontonkan di televisi seperti fenomena boy band, K-Pop, tari modern (dance) dan lain-lain.

Pencarian identitas Banyumasan juga tampak dalam penelitian Adi (2012).  Adi yang melakukan kajian terhadap program acara di  Banyumas TV, menemukan bahwa orang-orang Banyumas yang digambarkan dalam berbagai acara di Banyumas TV cenderung tidak jauh berbeda dengan karakter yang selama ini dijelaskan dalam berbagai literatur sejarah. Masyarakat Banyumas digambarkan sebagai masyarakat terbuka, transparan, cair dan dinamis.

Sementara Muktaf (2012) yang meneliti film pendek karya sineas Banyumas yang berjudul "Peronika"  menemukan hal serupa. Dengan pendekatan studi pesan dan memfokuskan pada empat wilayah yakni sterotype, simbolisasi, bahasa dan budaya, Muktaf menyimpulkan bahwa; pertama, bahasa Banyumasan masih dianggap sebagai bahasa kelas bawah, karena dalam berbagai forum masih menjadi bahan tertawaan, khususnya dalam dunia hibiran di tanah air. Kedua, masyarakat Banyumas disimbolisasikan sebagai masyarakat agraris. Selanjutnya, bahasa yang digunakan adalah dialek Banyumas dan secara budaya masyarakat Banyumas adalah ndablong, mbloak, nyablaka dan cowag.

Berbagai kajian di atas setidaknya memberikan gambaran tentang identitas budaya Banyumas dalam beberapa segi yang saling terkait satu sama lain. Pertama budaya Banyumas berkembang dalam budaya agraris dan oleh karena itu selalu dikonotasikan sebagai ranahnya budaya wong cilik . Kedua, jauhnya Banyumas dari pengaruh keraton telah membentuk identitas budaya Banyumas yang egaliter, terutama jika dilihat dari bahasa dan berbicara. Ketiga, karakter khas banyumas yang bisa jadi penanda identitas budaya Banyumasan adalah watak cablaka yakni berbicara spontan dan apa adanya.

C. Mempublikasikan Banyumas Melalui Budaya Populer: Tawaran Strategi

Ariel Heryanto (ed.,2012), menemukan bahwa pasca runtuhnya rezim orde baru tahun 1998, ragam identitas budaya di Indonesia seakan menemukan ruangnya untuk berekspresi, terutama dengan semakin massifnya industri media di Indonesia. Identitas etnis, gender, lokalitas, ideologi, agama, seni tradisional berkontestasi dalam berbagai media, baik film layar lebar, seni pertunjukan atau televisi. Pasca orde baru, identitas yang sebelumnya terbelenggu dalam bingkai kebudayaan nasional berubah cair dan beriringan dengan laju budaya populer.

Salah satu wilayah di Indonesia yang juga "kebanjiran" berbagai produk budaya populer yang juga berbarenganan dengan munculnya fenomena kontestasi identitas adalah tlatah Banyumas. Sekarang ini, berbagai hal yang berbau identitas Banyumasan  seperti sengaja diafirmasikan dalam berbagai hal. Di bidang kuliner saat ini muncul restoran/caf/ rumah makan/ warung bernama dan bernuansa Banyumasan seperti omahe inyong, bale inyong, griya nekula dan lain-lain. Di bidang fashion kini marak kaos oblong (t-shirt) yang mengklaim sebagai kaos khas Banyumasan, diantaranya: kaus dablongan, kaus ngapak, kaus panginyongan, kaus bawor, Kreasi Inyong dan juga munculnya distro-distro batik Banyumasan. Dalam media sosial kini juga terdapat jejaring sosial berbahasa Banyumas yakni kayakiye.com dan grup-grup komunitas di facebook yang mengatasnamakan Banyumasan seperti Dagelan Ngapak, Gudang Humor Banyumasan (GHB), Peyang Penjol dan lain-lain. Untuk media cetak, di Banyumas telah terbit majalah berbahasa Banyumas Ancas yang berbaur dengan surat kabar yang lebih dulu beredar di wilayah Banyumas dan memuat rubrik bernuansa Banyumasan;  Mbleketaket (di Radar Banyumas), Banyumasan (Kedaulatan Rakyat) piye jal, kiye lakone, cablaka (Suara Merdeka), Bapake Blokeng (Harian Banyumas) dan sebagainya.

Selain itu, film-film pendek Banyumasan juga semakin marak dan makin mudah didapatkan di situs Youtube. Bahkan di Banyumas sudah terbetuk komunitas bernama Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB) dan Banyumas Cinema Lovers Club (BCLC) yang berisi pegiat dan pecinta film Banyumas-an. Ada pula novel berbahasa Banyumas seperti Wong Geger Ndekep Macan karya Hari Soemoyo, Ronggeng Dukuh Paruk dan Jeginger karya Ahmad Tohari, Kumandang Tembang Mrapat karya Nasirin L Sukarta, dan lain-lain. Berbagai produk itu seperti berlomba-lomba menunjukan identitas Banyumasan dengan berbagai cara, seolah ingin menunjukan kepada khalayak bahwa Banyumas itu masih eksis meski terpaan globalisasi sudah merangsek masuk ke wilayah ini.

Latar belakang historis, sosial dan politis wilayah Banyumas sebagai daerah "marginal" dan menjamurnya representasi identitas Banyumasan dalam berbagai produk budaya populer bisa dilihat sebagai sebuah potensi untuk "mengangkat" budaya Banyumasan ke level yang lebih tinggi. Mengapa? Karena budaya populer tidak bisa dianggap sebagai fenomena hiburan semata (eskapisme) yang kosong muatan ideologi dan kekuasaan (Heryanto, 2012). Dalam budaya pop kita bisa menemukan kesalingterkaitan antara kekuasaan, ideologi bahkan hegemoni budaya (Barker, 2009:11). Begitu pula produk budaya pop yang merepresentasikan identitas Banyumasan, penulis meyakini bahwa produk-produk tersebut tidak hanya bertujuan komersial, tapi membawa makna-makna tertentu yang memuat pergulatan kekuasaan dan ideologi yang berkembang di wilayah Banyumas.

  • Identitas budaya memerlukan ruang untuk menunjukan eksistensinya. Di era kontemporer sekarang ini hal yang "lokal" dan global banyak yang sudah bisa beriringan, meski dilatarbelakangi motif dan kepentingan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, menjadikan produk budaya pop sebagai "kendaraan" untuk mengangkat budaya Banyumasan, bisa dijadikan salah satu alternatif strategi meskipun perlu diskusi yang sangat panjang tentang fokus agendanya.
  • Mengutip pendapatnya Manuel Castells (1997), bahwa identitas bisa dibentuk dengan berbagai macam cara. Pertama legitimizing identity dimana identitas diperkenalkan oleh budaya dominan untuk melanggengkan dominasinya. Kedua, resistance identity, yang mana identitas dimunculkan oleh para pelaku (individu/masyarakat) yang posisi atau kondisinya dinilai rendah dan atau distigmatisasi oleh logika dominasi, kemudian membangun 'balok-balok' perlawanan terhadap budaya dominan. Ketiga, project identity, dimana identitas dimunculkan oleh para pelaku sosial yang berdasarkan bahan-bahan budaya apapun yang tersedia, membangun identitas baru yang mendefinisikan ulang posisi mereka dalam masyarakat dan dengan melakukan itu berusaha merubah seluruh struktur sosial. Tampaknya, masyarakat Banyumas harus mulai berani melakukan nomor dua dan nomor tiga untuk menjauh dari bayang-bayang dominasi budaya Jawa. Apakah bisa? Tentu saja bisa, karena Banyumas punya budaya yang berbeda dengan budaya "induknya" tersebut.

D. Penutup

Berdasarkan uraian di atas, penulis sepakat dengan cara pandang non-esensialis dalam mengkaji tentang identitas budaya masyarakat Banyumas. Meskipun selama ini terdapat identitas budaya tertentu yang identik dengan masyarakat Banyumas, seperti sifat cablaka dan budaya ngapak, akan tetapi identitas tersebut bukanlah sesuatu yang stabil dan permanen. Penulis memiliki asumsi bahwa identitas budaya masyarakat Banyumas selalu dikonstruksi secara terus menerus, berdialog dengan zaman, memposisikan diri dan berada dalam proses perubahan.

Oleh karena itu, identitas seperti sifat cablaka dan bahasa ngapak, bisa saja mengalami perubahan makna dan tidak lagi menjadi penanda identitas budaya masyarakat Banyumas. Hal ini berkaitan dengan sejarah Banyumas dan perkembangannya di masa sekarang. Sebagai bekas wilayah kerajaan Mataram yang jauh dari pusat kekuasaan, posisi Banyumas berada di wilayah pinggiran sehingga memunculkan kultur kebebasan yang berwujud dalam budaya cablaka dan bahasa ngapak. Sementara sekarang, Banyumas telah berkembang dalam berbagai hal, terutama transformasi dari daerah agraris menjadi wilayah berbasis perdagangan dan jasa yang memungkinkan terjadinya perubahan dalam berbagai hal, termasuk identitas budayanya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun