Mohon tunggu...
sulton abdul aziz
sulton abdul aziz Mohon Tunggu... Sopir

Mahasiswa UIN maliki malang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Kualitas Software: Apakah Kita Terlalu Idealistis?

15 Mei 2025   10:03 Diperbarui: 15 Mei 2025   10:03 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Software berkualitas tinggi itu penting." Kalimat itu sering saya dengar, baca, bahkan saya ucapkan sendiri. Tapi, benarkah kualitas selalu jadi prioritas utama dalam dunia nyata pengembangan perangkat lunak?

Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah artikel ilmiah yang cukup menggugah pikiran. Judulnya "Software Quality: How Much Does It Matter?" ditulis oleh Amrit, Paasivaara, dan Runeson pada tahun 2022. Artikel ini membuka mata saya terhadap realita yang terjadi di balik layar industri teknologi---tentang bagaimana kualitas software sering kali dinegosiasikan, bahkan dikorbankan.

Artikel ini bukan sekadar opini, tetapi hasil studi kualitatif terhadap para profesional software dari berbagai perusahaan. Mereka diwawancarai untuk mengetahui bagaimana mereka memandang kualitas dalam proyek mereka masing-masing. Dan hasilnya cukup mencengangkan: kualitas ternyata tidak selalu jadi prioritas utama.

Kualitas Itu Relatif, Bukan Mutlak

Salah satu hal yang paling menarik bagi saya adalah bagaimana artikel ini mengungkap bahwa kualitas perangkat lunak ternyata bersifat kontekstual. Dalam situasi dengan tekanan waktu tinggi, tuntutan pasar, atau keterbatasan sumber daya, tim pengembang sering kali harus memilih antara kualitas dan kecepatan rilis. Dan keputusan yang diambil? Sering kali kualitas dikorbankan.

Lebih lanjut, banyak organisasi menilai kualitas hanya dari aspek fungsi. Apakah aplikasinya berjalan? Apakah fiturnya sesuai permintaan? Jika iya, maka dianggap sudah "berkualitas". Sayangnya, aspek penting lain seperti maintainability (mudah dirawat), usability (mudah digunakan), dan scalability (mudah berkembang) justru sering terabaikan.

Frustrasi di Balik Kode

Saya pribadi merasa terhubung dengan cerita para pengembang dalam artikel ini. Banyak dari mereka merasa frustrasi karena mereka tahu keputusan untuk menurunkan standar kualitas akan berdampak jangka panjang. Mereka sadar bahwa hal itu bisa menimbulkan technical debt, semacam "utang masa depan" yang harus dibayar dengan biaya perbaikan atau pengembangan yang lebih besar nantinya.

Namun, tekanan dari sisi bisnis membuat mereka tak punya pilihan. Dalam dunia startup misalnya, yang penting adalah segera "go to market". Kalau lambat, bisa kalah bersaing. Dan di sinilah konflik antara teknis dan bisnis mulai terasa nyata.

Apa Itu "Cukup Baik"?

Penulis artikel menawarkan solusi yang menarik: kualitas perlu didefinisikan dan dinegosiasikan secara eksplisit di awal proyek. Ini artinya, setiap pemangku kepentingan harus sepakat tentang apa itu kualitas yang "cukup baik". Jadi, tidak semua software harus sempurna---yang penting, sesuai dengan kebutuhan.

Sebagai mahasiswa dan calon praktisi RPL (Rekayasa Perangkat Lunak), saya menangkap pesan yang dalam di sini. Bahwa kualitas software bukan cuma tanggung jawab developer. Ia adalah hasil dari komunikasi dan kompromi antara tim teknis, manajer produk, hingga pelanggan.

Realita vs Idealisme

Artikel ini membuat saya merenung. Selama ini kita terlalu idealis memandang kualitas. Kita pikir software harus "sempurna", padahal realitanya dunia pengembangan software adalah tentang prioritas, waktu, dan sumber daya.

Bukan berarti kita boleh menyepelekan kualitas, tentu tidak. Tapi kita perlu lebih realistis: software yang cukup baik dan tepat waktu sering kali lebih bermanfaat daripada software yang sempurna tapi terlambat.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun