Kau adalah ibu. Kami anak-anakmu datang menjenguk, namun kau tak pernah ramah. Masih serupa dulu, kala pertama menginjakkan kaki di rumahmu. Wajah yang tak pernah ranum karena mungkin terlampau lelah. Atau memang kau ibu yang telah lupa bagaimana cara tersenyum?
JAKARTA telah menjadi kota bingar jauh sebelum orang tua kami dilahirkan. Ya! Kota ini sudah terlampau digdaya sejak ratusan tahun lalu. Jutaan manusia ruah, menyemut, berseliweran tak kenal waktu. Dari ujung timur Merauke sampai ujung barat Sabang, yang pribumi maupun luar negeri, segala jenis manusia lalu-lalang, menapak di kota yang makin sesak ini.
Pukul 16.00 WIB, dari Soekarno Hatta menumpang taksi menuju penginapan. Bermalam semalam di Tangerang lalu keesokan harinya betandang ke Ibu Kota Negara. Bersama saya, seorang lelaki paru baya yang baru pertama menjejaki ibu kota. Namanya Jemi, terus berceloteh dia. Saya menyimak rentetan kata sambung-menyambung tumpah dari mulutnya, mengabarkan ketakjuban, suka-cita luar biasa, sebab tak menyangka akhirnya bisa sampai di Jakarta. Di dalam taksi yang lajunya bak siput, saya menyaksikan pertunjukan yang mengesankan itu, menikmati ciri khas kota ini: macet!
“Saya mau melihat Monas! Mana Monas?”
“Kalau bisa kita salat Jumat di Istiqlal juga ya…?”
Saya mengubris dengan senyum, mengangguk perlahan, sembari terus menyimak luapan persaannya.
“Saya sungguh tidak percaya Pak bisa sampai di Jakarta ini, akan saya ceritakan ke semua keluarga!”
Tiba-tiba handphone-nya menjerit, lekas diangkat lalu bercakap bangga. Suaranya meledak-ledak, sesekali terselip tawa renyah. Mengabarkan keadaannya, keberadaannya” “Kita ada di Jakarta uti…”
***
Macet adalah hal yang paling intim dengan Jakarta. Bercakap tentang solusi masalah lalu-lintas yang satu ini, serupa mengurai benang kusut, mencari jarum dalam tumpukan jerami. Ya: Jakarta dengan kemacetannya adalah dua sisi uang logam, tak bisa dipisahkan. Dengan apakah kemacetan itu bisa diurai, jawabannya bisa. Tapi jika kita menyaksikan sesaknya jalan-jalan ibu kota, rasanya solusi yang ditawarkan selalu jauh panggang dari api. Jumlah kendaraan tak sebanding dengan luas jalan, hasilnya macet selalu jadi warna di hari-hari ibu kota.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Peraturan Gubernur Nomor 610 tahun 2015 tentang Perubahan atas Keputusan Gubernur Nomor 69 tahun 2015 telah membentuk Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk mempercepat mengatasi masalah lalu-lintas dan angkutan jalan di Jakarta. Forum yang melibatkan lintas instansi (SKPD Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Dewan Transportasi Kota Jakarta, Organisasi Angkutan Darat (Organda), Kepolisian Daerah Metro Jaya dan unsur ahli lainnya) telah berembuk, berupaya memecahkan masalah lalu-lintas dan angkutan jalan. Sinergitas dan koordinasi digalakkan dengan harapan agar wajah lalu lintas ibu kota semakin baik. Hanya saja, segala upaya itu tiada berdaya jika tidak diikuti dengan langkah perbaikan kualitas human yang memadai. Lebih parah, Jakarta oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) pernah diprediksi akan menjadi kota yang gagal.