Kemerdekaan Digital: Antara Peluang Emas dan Kolonialisme Siber
Begitu pula dengan gerakan boikot. Pada 2022, misalnya, sejumlah produk fast fashion disorot karena dinilai eksploitatif dan tidak ramah lingkungan. Gen Z secara kolektif menyebarkan kampanye boikot lewat TikTok dan Instagram. Dampaknya terasa: brand besar harus merespons dengan klaim keberlanjutan atau menghadapi kehilangan konsumen muda.
Mereka juga piawai menggabungkan dunia maya dengan dunia nyata. Aksi jalanan tetap ada, tapi dikoordinasi lewat media sosial. Poster digital disebar luas agar peserta aksi datang dengan pesan yang seragam. Dokumentasi diunggah secara masif agar narasi di lapangan tak mudah dipelintir.
Dengan kata lain, aktivisme Gen Z membuktikan bahwa digital dan fisik bukan dua dunia terpisah, melainkan rantai yang saling menguatkan.
Â
Aktivisme Pop Culture: Politik Jadi Gaya Hidup
Satu hal yang membedakan Gen Z dengan generasi sebelumnya adalah cara mereka membungkus aktivisme. Politik bukan lagi ranah elitis atau domain aktivis profesional, melainkan bagian dari gaya hidup sehari-hari.
Konsep conscious consumerism---pilihan belanja yang selaras dengan nilai politik---menjadi contoh nyata. Banyak Gen Z menolak fast fashion, memilih produk ramah lingkungan, atau mendukung brand lokal yang transparan. Aktivisme, bagi mereka, bisa dimulai dari keranjang belanja.
Baca juga:Â
Dari Medan Tempur ke Medan Digital: Evolusi Nasionalisme Anak Muda Indonesia
Pop culture juga menjadi saluran efektif. Dari konser musik yang menyelipkan pesan lingkungan, film pendek independen di YouTube tentang diskriminasi, hingga konten TikTok tentang literasi hukum. Semua dikemas ringan, tanpa kehilangan makna.