Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Pemerhati Isu-isu Pangan Lokal, mantan Peneliti Litbang Kompas

Senang menulis isu-isu pangan, lingkungan, politik dan sosbud kontemporer.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Purbaya Yudhi Sadewa: Figur yang Membelah Persepsi Publik

11 September 2025   23:12 Diperbarui: 11 September 2025   23:12 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Purbaya Yudhi Sadewa Menteri Keuangan pengganti Sri Mulyani yang dilantik pada 8/9/2025 (Sumber: Kompas.com)

Pidato perdana selalu jadi panggung penting. Ia adalah momen di mana seorang pejabat menancapkan otoritas, membangun kepercayaan, sekaligus merangkai visi yang bisa memandu arah kebijakan. Namun, yang dilakukan Purbaya Yudhi Sadewa dalam debutnya sebagai Menteri Keuangan justru sebaliknya. Alih-alih tampil dengan pidato yang menenangkan pasar dan meneguhkan publik, ia malah memicu kontroversi dengan menyebut tuntutan 17+8 hanya representasi “segelintir rakyat.” Kalimat yang tampak sepele ini dengan cepat menjadi bumerang: publik menilainya abai terhadap aspirasi yang nyata mengemuka di ruang publik, dan bukannya mencoba merangkul, ia malah terkesan menafikan.

Pernyataan berikutnya semakin memperkuat kesan bahwa Purbaya lebih gemar memamerkan ketimbang menenangkan. Ia mengaku dirinya “jago dalam masalah fiskal” karena telah berpengalaman di ranah moneter. Sebuah pernyataan yang bisa dianggap percaya diri, tapi dalam ruang politik-ekonomi yang sangat sensitif, justru bisa terbaca sebagai arogansi. Lebih jauh, klaim bahwa dirinya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 6 persen hanya dalam beberapa bulan ke depan terkesan tidak realistis, bahkan bombastis. Sejarah menunjukkan, ekonomi nasional bukanlah mesin yang bisa dipacu dengan pedal gas sesuka hati. Ada faktor struktural yang kompleks, dari investasi, daya beli, hingga stabilitas global. Publik dengan cepat menangkap kelemahan klaim semacam itu: janji yang terlalu tinggi hampir pasti berujung kekecewaan.

Namun di balik semua itu, tak bisa dipungkiri ada sisi positif dari arah kebijakan yang ia sodorkan. Salah satunya adalah rencana menggelontorkan Rp200 triliun kepada Bank Himbara dari total Rp425 triliun dana pemerintah yang selama ini mengendap di Bank Indonesia. Kebijakan ini, bila dikelola dengan transparan, bisa memberi napas segar bagi sektor riil dan membuka ruang likuiditas baru bagi dunia usaha. Di tengah kelesuan ekonomi, langkah ini bukan hanya relevan, tetapi juga dibutuhkan. Pertanyaannya: apakah Purbaya mampu mengawal eksekusi kebijakan ini agar tidak berubah menjadi ladang rente bagi segelintir kelompok?

Kritik tajamnya terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG) juga patut dicatat. Ia menyebut program itu boros, tidak efektif, salah sasaran, bahkan rawan korupsi. Kritik tersebut sejalan dengan keresahan publik yang melihat banyak program populis pemerintah kerap hanya memperbesar anggaran tanpa memastikan tata kelola yang akuntabel. Jika konsistensi kritik ini diikuti dengan langkah reformasi konkret dalam penyaluran anggaran, Purbaya bisa menjadi motor koreksi di dalam kabinet, sekaligus memberi warna berbeda dibandingkan menteri-menteri yang hanya sekadar menjalankan perintah.

Tetapi semua kebijakan yang baik akan kehilangan gaungnya bila komunikasi publik yang dibangun rapuh. Di titik inilah masalah serius Purbaya Yudhi Sadewa terlihat jelas. Public speaking yang buruk bukan sekadar soal gaya bicara yang kaku atau pilihan kata yang keliru. Lebih dari itu, ia mencerminkan kelemahan mendasar dalam membaca sensitivitas publik. Seorang Menteri Keuangan seharusnya tahu bahwa setiap kalimat yang diucapkan akan berdampak luas: memengaruhi ekspektasi pasar, psikologi investor, dan tentu saja persepsi rakyat. Ketika pidato perdananya justru lebih banyak menimbulkan kegaduhan daripada kejelasan, legitimasi politik yang semestinya ia peroleh di awal jabatan malah tergerus.

Sejarah politik-ekonomi kita menunjukkan, kelemahan komunikasi publik pejabat bukanlah hal baru. Dari era ke era, publik selalu disuguhi pejabat yang sesumbar dengan janji besar, tetapi gagap ketika harus menjelaskan strategi konkret. Ada yang terlalu teknokratis hingga gagal menyentuh bahasa rakyat, ada pula yang terlalu populis hingga kehilangan kredibilitas akademis. Pola ini terus berulang, dan ironisnya, jarang dipelajari sebagai kesalahan yang harus dihentikan.

Pada akhirnya, pidato perdana Purbaya menjadi cermin dari problem lama: bagaimana pejabat publik di negeri ini sering kali menjadikan podium sebagai panggung klaim, bukan ruang dialog. Mereka berbicara ke arah rakyat, bukan dengan rakyat. Sementara itu, krisis legitimasi yang lahir dari komunikasi yang buruk justru melemahkan fondasi mereka sendiri dalam mengelola jabatan. Sebagus apa pun kebijakan yang akan dijalankan, tanpa komunikasi yang kuat, publik lebih dulu menaruh curiga.

Dan di situlah risiko terbesar Purbaya Yudhi Sadewa terletak: ia bisa saja membawa gagasan kebijakan yang segar, tetapi jika cara bicaranya terus menyinggung, menafikan, atau sesumbar tanpa arah, jabatan Menteri Keuangan yang baru saja ia emban bisa kehilangan kepercayaan publik sebelum benar-benar sempat bekerja. Di negara demokrasi, kepercayaan publik adalah modal yang lebih mahal daripada Rp200 triliun sekalipun.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun