Di tengah euforia kemerdekaan yang dirayakan setiap 17 Agustus, ada satu bentuk "penjajahan" yang justru terus mencengkeram: sampah plastik. Ia hadir di selokan, pasar, hingga pesisir pantai, menyusup dalam kehidupan sehari-hari tanpa henti. Indonesia disebut sebagai salah satu penyumbang sampah plastik terbesar ke lautan di dunia, dan situasi ini telah menempatkan warga dalam kondisi darurat lingkungan. Sampah bukan lagi hanya soal kebersihan, tetapi sudah menyangkut kualitas hidup, kesehatan, dan hak atas ruang tinggal yang layak.
Baca juga:
Menakar Keadilan Sosial setelah 80 Tahun Indonesia Merdeka
Dalam konteks ini, krisis sampah menjadi bentuk penjajahan modern yang tak terlihat. Plastik yang tak terurai selama ratusan tahun menjadi warisan buruk dari gaya hidup konsumerisme dan kebijakan industri yang abai terhadap keberlanjutan. Bahkan, banyak warga yang tanpa sadar menjadi korban sekaligus pelaku, terjebak dalam sistem pengelolaan sampah yang timpang. Pemandangan gunungan sampah di TPA, bau menyengat di sekitar pemukiman, dan pencemaran sungai adalah bentuk kekerasan struktural terhadap lingkungan.
Pemerintah memang telah membuat kebijakan untuk mengurangi plastik sekali pakai, namun implementasinya sering tak menyentuh akar persoalan. Sementara itu, banyak warga yang tidak mendapatkan edukasi memadai tentang pemilahan sampah atau akses terhadap fasilitas daur ulang. Ketimpangan ini membuat perjuangan melawan sampah menjadi rumit: antara kesadaran individu, tanggung jawab industri, dan kehadiran negara yang masih minim. Dalam situasi seperti ini, komunitas-komunitas lokal muncul sebagai barisan terdepan yang menolak tunduk.
Mereka tak menunggu regulasi besar turun dari atas. Mereka bergerak dari bawah, dari hal-hal kecil: memilah sampah di rumah, membuat bank sampah di kampung, hingga memproduksi kerajinan dari limbah. Dalam keterbatasan, warga mengorganisir diri untuk merebut kembali kendali atas lingkungan mereka. Inilah bentuk kemerdekaan lingkungan yang otentik--datang dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Kini, di tengah maraknya konsumerisme makna kemerdekaan memiliki dimensi baru yaitu membebaskan ruang hidup dari ancaman sampah yang menghancurkan. Dan seperti halnya pejuang masa lalu, para warga yang bergerak memerdekakan lingkungan hari ini menunjukkan semangat juang yang sama--berani, kreatif, dan penuh harapan.
Gerakan Warga: Dari Halaman Rumah hingga Kampung Bebas Sampah
Di Kota Malang, ibu-ibu rumah tangga sudah memulai revolusi kecil dari dapur masing-masing. Mereka memisahkan sisa makanan, plastik, dan sampah kering. Perlahan-lahan, akhirnya terbentuklah kelompok warga yang mendirikan Bank Sampah Mawar. Setiap bulan, warga bisa menukar sampah yang terpilah dengan sembako. Uang hasil penjualan plastik dikumpulkan untuk membiayai kegiatan kebersihan RT dan pelatihan keterampilan daur ulang. Gerakan warga ini tumbuh dari keprihatinan, bukan dari dana bantuan.