Sejarah perjuangan bangsa Indonesia sering kali dibingkai dalam narasi yang maskulin. Sosok-sosok seperti Soekarno, Hatta, atau Jenderal Soedirman mendominasi buku pelajaran dan pidato-pidato kenegaraan. Padahal, sejak abad ke-16 hingga era kemerdekaan, perempuan juga memainkan peran sentral dalam melawan penjajahan, mempertahankan tanah air, serta menginspirasi kebangkitan nasional. Perempuan bukan hanya korban atau pendamping dalam peperangan, tapi juga pemimpin, pemikir, dan pelindung masyarakatnya. Sayangnya, nama-nama mereka kerap luput dari penokohan resmi sejarah bangsa.
Tiga figur utama yang menggambarkan jejak perempuan dalam perjuangan Indonesia adalah Raden Ajeng Kartini, Cut Nyak Dhien, dan Laksamana Malahayati. Mereka datang dari konteks waktu, budaya, dan medan perjuangan yang berbeda, namun sama-sama melampaui batasan gender pada zamannya. Kartini membuka jalan melalui pena dan pendidikan. Cut Nyak memimpin pasukan melawan kolonialisme Belanda. Malahayati bahkan menjadi laksamana laut pertama di dunia yang memimpin armada perempuan. Ketiganya melampaui peran domestik yang dilekatkan pada perempuan.
Dengan memahami sejarah perempuan dalam kerangka ini, kita mulai melihat bahwa perjuangan perempuan tak bisa dilepaskan dari semangat pembebasan secara utuh---baik dari kolonialisme eksternal maupun patriarki internal. Keberanian mereka bertujuan untuk mengusir penjajah sekaligus mendobrak ketimpangan struktural yang membelenggu hak-hak perempuan. Maka, perjuangan kemerdekaan sejati mencakup pula emansipasi perempuan dalam segala aspeknya.
Baca juga:
Jalan Sunyi Pejuang tanpa Atribut Pahlawan
Sayangnya, narasi ini jarang diangkat secara utuh dalam pendidikan sejarah. Banyak generasi muda mengenal Kartini sebatas simbolisasi "Hari Kartini" yang identik dengan kebaya, bukan sebagai pemikir radikal yang menantang sistem feodal dan kolonial. Cut Nyak dan Malahayati pun lebih dikenal dalam bingkai heroik semata, tanpa menggali pemikiran dan strategi mereka dalam menghadapi penindasan. Padahal, ketika kita memahami mereka lebih dalam, kita menemukan gagasan pembebasan yang melampaui zamannya.
Mengangkat kembali jejak perempuan dalam sejarah bukan sekadar menambahkan nama-nama baru dalam daftar pahlawan. Dengan mengakui kontribusi dan kepemimpinan perempuan, kita mengoreksi kembali narasi sejarah yang timpang sekaligus membangun sejarah bangsa yang lebih utuh, adil, dan inspiratif bagi generasi masa kini.
Kartini: Pena sebagai Senjata Emansipasi
Raden Ajeng Kartini dikenal luas sebagai simbol emansipasi perempuan di Indonesia. Namun, pemahaman umum tentang Kartini kerap disederhanakan menjadi perayaan simbolik yang kurang menggambarkan kekuatan pemikirannya. Padahal, lewat surat-suratnya yang dikumpulkan dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini mengajukan kritik tajam terhadap feodalisme, ketimpangan pendidikan, dan subordinasi perempuan dalam budaya Jawa maupun kolonialisme Belanda. Pemikiran Kartini merupakan tonggak penting dalam sejarah feminisme Indonesia.
Kartini tumbuh dalam keluarga priyayi Jawa yang memungkinkan ia mengenyam pendidikan dasar Belanda. Meski demikian, Kartini tetap dibatasi oleh adat yang mengekang perempuan. Ketika ia dipingit, Kartini tidak menyerah pada keadaan. Ia membaca dan menulis surat dengan sahabat-sahabat Eropa-nya sebagai ruang perlawanan. Ia menggunakan pena sebagai alat kritik dan ekspresi gagasan kebebasan. Keberanian Kartini dalam menyuarakan ketidakadilan secara tertulis adalah bentuk perlawanan yang sangat berarti pada masa itu.