Ketika kita bicara tentang kemerdekaan, ingatan publik sering kali hanya berhenti pada bendera, pidato, atau parade militer. Padahal, ada ruang-ruang keseharian yang juga menjadi medan perayaan identitas—salah satunya adalah meja makan. Di setiap tanggal 17 Agustus, berbagai daerah di Indonesia menyuguhkan menu khas perayaan kemerdekaan yang bukan hanya mengenyangkan, tetapi juga mencerminkan sejarah, kebanggaan, dan karakter budaya lokal. Inilah bentuk nasionalisme lembut yang tumbuh dari cerita pangan, bukan dari wacana politis belaka.
Makanan khas perayaan kemerdekaan tak muncul begitu saja, melainkan lahir dari jejak perjuangan, adaptasi lokal, dan kreativitas rakyat. Di balik sepiring tumpeng atau semangkuk papeda, ada narasi panjang tentang ketahanan pangan, hubungan dengan alam, serta semangat gotong royong. Pangan bukan sekadar kebutuhan biologis, melainkan juga ekspresi dari kedaulatan dan kemerdekaan berpikir—termasuk dalam menentukan selera dan identitas diri.
Baca juga:
Refleksi Kedaulatan Pangan di Bulan KemerdekaanÂ
Budaya kuliner Nusantara, yang terbentuk dari ribuan pulau dan ratusan etnis, sesungguhnya adalah laboratorium sejarah hidup. Melalui makanan, kita belajar bagaimana tiap daerah beradaptasi dengan lingkungan dan bahan baku lokal. Menu kemerdekaan dari Sabang sampai Merauke mencerminkan kisah survival, kemandirian, dan kekayaan imajinasi masyarakat. Perayaan 17 Agustus, dalam konteks ini, adalah pesta rasa sekaligus pesta sejarah.
Lebih jauh, kuliner dalam perayaan kemerdekaan memperlihatkan bagaimana nasionalisme tidak harus selalu ditunjukkan dalam bentuk formalisme negara. Nasionalisme dapat tumbuh dari kecintaan terhadap sambal buatan ibu, atau semangat gotong royong saat memasak nasi liwet bersama tetangga. Nilai-nilai seperti persatuan, keberagaman, dan kesetaraan justru terasa lebih nyata dalam aktivitas kolektif di dapur dan meja makan.
Maka, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kedaulatan pangan adalah bagian tak terpisahkan dari kedaulatan bangsa. Ketika kita mampu memaknai makanan lokal sebagai bagian dari identitas nasional, maka kita sedang meneguhkan semangat kemerdekaan dalam bentuk yang paling membumi: dari piring ke hati.
Tumpeng dan Simbolisme
Salah satu ikon kuliner kemerdekaan yang paling banyak ditemukan adalah tumpeng. Makanan berbentuk kerucut ini bukan hanya enak, tetapi sarat dengan simbolisme. Di banyak daerah di Jawa, perayaan 17 Agustus tidak lengkap tanpa nasi tumpeng yang dilengkapi lauk-pauk seperti ayam ingkung, urap, telur rebus, dan sambal. Bentuk kerucut tumpeng melambangkan hubungan manusia dengan Tuhan (vertikal), dan aneka lauk di sekitarnya mewakili hubungan sosial (horizontal).
Tumpeng bukan hanya soal rasa, tetapi juga bentuk pendidikan karakter. Proses membuatnya biasanya dilakukan bersama-sama, dari ibu-ibu PKK hingga anak muda karang taruna. Aktivitas ini menjadi ruang untuk memperkuat solidaritas sosial dan menanamkan nilai gotong royong yang menjadi ruh dari kemerdekaan itu sendiri. Dalam narasi kuliner, tumpeng adalah monumen rakyat yang tidak dibangun dengan batu, tetapi dengan beras dan bumbu dapur.