Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Pemerhati Isu-isu Pangan Lokal, mantan Peneliti Litbang Kompas

Senang menulis isu-isu pangan, lingkungan, politik dan sosbud kontemporer.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Transformasi Mall sebagai Ruang Publik Alternatif di Tengah Fenomena Rojali

29 Juli 2025   17:45 Diperbarui: 30 Juli 2025   07:23 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Transformasi Mall sebagai Ruang Publik Alternatif (KOMPAS.COM/FIRMANSYAH)

Eksistensi mall sebagai ruang konsumerisme publik mulai bergeser menjadi ruang publik alternatif seiring mencuatnya Fenomena Rojali beberapa waktu belakangan ini. 

Mall yang  identik dengan kegiatan konsumsi dan kemewahan kelas menengah urban mulai bergeser fungsinya. Fungsi mall sebagai tempat orang-orang datang untuk berbelanja, makan di restoran cepat saji, atau menonton film dengan harga premium berubah drastis. Simbol modernitasnya memudar meskipun pengunjungnya tetap ramai.

Kini, mall tetap ramai pengunjung tetapi minim transaksi. Banyak yang sekadar datang, berjalan-jalan, menikmati suasana, dan pulang dengan tangan kosong sehingga  kantong belanja yang dibawa pengunjung tampak menurun drastis. Inilah fenomena yang kini populer disebut sebagai Rojali  (Rombongan Jarang Beli). 

Istilah ini bermula dari pengamatan masyarakat terhadap perilaku pengunjung mal yang hadir beramai-ramai namun sangat jarang melakukan transaksi. Awalnya menjadi bahan olok-olok sosial, tetapi lambat laun fenomena ini perlu kita pandang lebih serius, karena mengandung pesan sosial dan ekonomi yang cukup dalam.

Fenomena ini menandai transformasi peran mall dalam kehidupan masyarakat urban. Ia tak lagi sekadar pusat belanja, tapi sudah berubah menjadi semacam ruang publik privat---tempat orang datang bukan untuk mengonsumsi barang, melainkan untuk mengonsumsi suasana. Mall menjadi lokasi berkumpul yang nyaman, bersih, dan terjangkau secara sosial, meskipun tidak selalu terjangkau secara finansial.

Pertanyaannya: apakah mal sedang mengalami penurunan fungsinya sebagai pusat ekonomi, atau justru sedang menemukan fungsi sosial baru? Perubahan ini bisa jadi merupakan respons masyarakat terhadap keterbatasan ruang publik yang nyaman dan gratis, yang gagal disediakan oleh negara dan pemerintah kota. Dalam konteks ini, Fenomena Rojali menjadi pintu masuk untuk memahami keterhubungan antara desain kota, daya beli, dan kebutuhan rekreatif warga.

Artikel ini mencoba mengurai fenomena tersebut secara lebih mendalam. Alih-alih menyalahkan perilaku "datang tapi tidak beli," kita perlu melihat bahwa Rojali adalah ekspresi dari adaptasi masyarakat terhadap tekanan hidup kota. Mereka tetap ingin terhubung dengan ritme sosial urban, tanpa harus tunduk pada logika belanja yang tak lagi sesuai dengan kondisi dompet.

Selfie Estetik, Liburan dan AC Gratis 

Ilustrasi mall yang menjadi pilihan untuk rekreasi bagi masyarakat urban (Sumber: Liputan6.com)
Ilustrasi mall yang menjadi pilihan untuk rekreasi bagi masyarakat urban (Sumber: Liputan6.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun