Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Pemerhati Isu-isu Pangan Lokal, mantan Peneliti Litbang Kompas

Senang menulis isu-isu pangan, lingkungan, politik dan sosbud kontemporer.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Saatnya Pangan Bergizi Masuk Agenda Advokasi Perlindungan Anak

23 Juli 2025   22:13 Diperbarui: 24 Juli 2025   06:07 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak Indonesia sehat dan cerdas menuju Indonesia Emas 2045 (THINKSTOCKS/DRAGONIMAGES)


Hari Anak Nasional (HAN) Indonesia yang diperingati setiap tanggal 23 Juli selalu menjadi momentum untuk merefleksikan hasil pembangunan sumber daya manusia nasional sejak dini. Peringatan HAN 2025 mengusung tema: Anak Hebat, Indonesia Kuat Menuju Indonesia Emas 2045. Tema ini menegaskan pentingnya menciptakan generasi yang sehat, cerdas, tangguh, dan berdaya dalam rangka menyambut 100 tahun kemerdekaan Indonesia pada 2045 (metrotvnews.com, 2025). 

Inti dari setiap peringatan HAN adalah ekspresi nyata dari kepedulian terhadap pemenuhan hak serta perlindungan anak, yang harus menjadi tanggung jawab bersama. Selama ini, perbincangan tentang hak anak kerap berfokus pada akses pendidikan, perlindungan dari kekerasan, dan pengasuhan yang layak. 

Namun, satu aspek fundamental yang sering terlupakan adalah hak anak atas makanan bergizi. Hak atas pangan bukanlah sekadar isu teknis gizi, melainkan persoalan keadilan sosial dan kemanusiaan. Ketika anak-anak tidak mendapatkan asupan yang layak secara kuantitas dan kualitas, potensi tumbuh-kembang mereka terganggu, dan secara tidak langsung, negara turut abai dalam memenuhi hak dasar anak.

Konvensi Hak Anak PBB (1989) menegaskan bahwa setiap anak berhak atas standar hidup yang layak untuk perkembangan fisiknya. Artinya, kebutuhan dasar seperti makanan sehat dan cukup harus menjadi bagian dari kebijakan perlindungan anak. Di Indonesia, hak ini diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014, namun penerapannya masih jauh dari ideal. Masih banyak anak-anak di pelosok negeri--dan bahkan di kota-kota besar--yang mengalami kekurangan gizi kronis (stunting), gizi buruk, maupun obesitas karena paparan makanan ultra-proses tanpa edukasi yang memadai.

Sayangnya, gerakan perlindungan anak di Indonesia masih belum menjadikan isu gizi dan pangan sehat sebagai agenda utama. Banyak LSM dan lembaga pemerintah yang fokus pada perlindungan dari kekerasan seksual, pernikahan anak, atau perundungan. Isu-isu tersebut memang krusial, namun jika hak anak atas makanan sehat diabaikan, maka pondasi pertumbuhan dan daya tahan anak terhadap bentuk kekerasan dan eksploitasi lainnya juga ikut rapuh.

Anak yang kekurangan gizi lebih rentan mengalami kesulitan belajar, rendahnya energi, gangguan emosi, hingga mudah sakit. Hal ini akan menghambat potensi mereka di masa depan, baik dari sisi pendidikan maupun ekonomi. Dengan kata lain, keadilan gizi adalah prasyarat bagi terwujudnya keadilan pendidikan, kesehatan, dan sosial secara keseluruhan. Maka sudah saatnya pemenuhan gizi anak tak lagi dianggap sekadar urusan dapur keluarga, tetapi menjadi perhatian serius dalam advokasi perlindungan anak.

Memasukkan isu pangan bergizi dalam narasi perlindungan anak adalah langkah strategis untuk memastikan generasi masa depan tumbuh optimal, tidak hanya bebas dari kekerasan, tapi juga bebas dari kelaparan dan kekurangan nutrisi. Dengan demikian, konsep perlindungan anak bisa bertransformasi menjadi gerakan yang holistik dan menjangkau kebutuhan paling dasar anak: tumbuh dengan sehat dan bahagia.

Mengurai Realita

Ilustrasi menyerahkan tanggung jawab pangan hanya kepada ibu (Sumber: UNICEF)
Ilustrasi menyerahkan tanggung jawab pangan hanya kepada ibu (Sumber: UNICEF)

Realita di lapangan menunjukkan bahwa banyak anak Indonesia belum mendapatkan akses terhadap makanan sehat dan bergizi. Data dari Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 menunjukkan bahwa angka stunting masih berada di angka 21,6 persen. Ini berarti sekitar 1 dari 5 anak Indonesia mengalami hambatan pertumbuhan karena kekurangan gizi kronis. Masalah ini tidak hanya terjadi di wilayah terpencil, tetapi juga di kawasan urban yang padat dan miskin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun