Mobil listrik, meskipun terus berkembang, masih menghadapi keterbatasan dalam menjawab kebutuhan perjalanan jarak jauh tersebut. Jarak tempuh rata-rata sekali pengisian baterai yang masih terbatas dan ketersediaan stasiun pengisian ulang (SPKLU) yang belum merata membuat banyak orang ragu untuk mengandalkan mobil listrik dalam perjalanan lintas daerah. Kekhawatiran akan kehabisan daya di tengah jalan menjadi pertimbangan utama, terutama bagi keluarga yang membawa anak-anak atau orang tua dalam perjalanan jauh.
Selain itu, budaya improvisasi dalam perjalanan---berhenti di tempat makan lokal, melewati jalur alternatif, atau bahkan bermalam di kampung---membutuhkan kendaraan yang fleksibel dan tahan banting. Mobil konvensional telah teruji dalam hal ini, sementara mobil listrik masih dianggap terlalu "terkunci" pada sistem pengisian dan jalur tertentu. Kepercayaan terhadap bengkel umum di pelosok juga menjadi penentu, mengingat mobil listrik membutuhkan perawatan dan pemahaman teknis yang berbeda.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah persepsi masyarakat terhadap daya tahan mobil. Dalam budaya Indonesia, mobil seringkali dianggap sebagai aset jangka panjang yang bisa diwariskan atau dijual kembali dengan nilai yang stabil. Mobil listrik, yang teknologinya masih tergolong baru, belum memiliki rekam jejak panjang di mata masyarakat terkait keawetan dan nilai jual kembali. Ini membuat banyak orang memilih untuk menunggu dan melihat terlebih dahulu sebelum memutuskan beralih.
Dengan berbagai pertimbangan ini, bisa dilihat bahwa tradisi perjalanan kolektif dan pola mobilitas lintas daerah di Indonesia masih menjadi tantangan besar bagi adopsi mobil listrik secara luas. Inovasi teknologi harus mampu merespons kebutuhan budaya yang sudah mengakar agar bisa diterima dan diadopsi secara menyeluruh.
Mobilitas Urban dan Generasi Muda
Meski menghadapi tantangan dalam konteks perjalanan jarak jauh, mobil listrik memiliki peluang besar di wilayah perkotaan. Mobilitas masyarakat di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Bandung cenderung lebih terstruktur dan berulang---misalnya perjalanan harian dari rumah ke kantor atau sekolah. Dalam konteks ini, mobil listrik menawarkan efisiensi biaya dan kenyamanan yang menjawab kebutuhan gaya hidup urban.
Generasi muda, khususnya kaum milenial dan Gen Z, menjadi segmen yang paling terbuka terhadap adopsi mobil listrik. Mereka lebih akrab dengan teknologi digital, lebih sadar akan isu lingkungan, dan cenderung tertarik pada inovasi yang merepresentasikan gaya hidup modern. Tampilan futuristik mobil listrik, konektivitas yang canggih, serta kesan eksklusif menjadi daya tarik tersendiri di kalangan anak muda urban.
Selain pengguna individu, sektor transportasi daring juga mulai melirik penggunaan mobil listrik. Perusahaan seperti Gojek dan Grab sudah melakukan uji coba kendaraan listrik dalam armada mereka. Ini membuka ruang besar bagi normalisasi mobil listrik dalam keseharian masyarakat urban. Pengemudi ojol atau taksi online dapat menjadi agen perubahan budaya mobilitas jika diberi dukungan pelatihan dan infrastruktur yang memadai.
Namun demikian, adopsi ini tetap membutuhkan kebijakan insentif dan kemudahan akses. Harga mobil listrik yang relatif tinggi masih menjadi penghalang utama. Oleh karena itu, peran pemerintah sangat penting dalam menyediakan skema subsidi, pembebasan pajak, dan pembangunan SPKLU di titik-titik strategis kota. Langkah-langkah ini akan mempercepat penerimaan dan penggunaan mobil listrik di lingkungan urban.
Dengan kata lain, meskipun tidak langsung menggantikan peran mobil konvensional secara menyeluruh, mobil listrik punya potensi kuat untuk menguasai pasar mobilitas perkotaan dan menjadi simbol gaya hidup generasi baru di Indonesia. Ini bisa menjadi pijakan awal yang strategis dalam mendorong transformasi budaya mobilitas nasional.