Lingkungan sosial turut memberi pengaruh besar. Di komunitas perumahan, tempat kerja, atau pengajian, berkurban dengan sapi pribadi dianggap lebih membanggakan. Mereka yang hanya membeli kambing atau ikut patungan sering kali merasa kurang dihargai. Akibatnya, ada semacam ‘standar sosial’ tak tertulis yang membebani individu untuk tampil setara.
Kondisi ini tentu berbahaya karena mendorong praktik konsumtif dalam ibadah. Orang bisa menomorduakan kebutuhan penting lain demi membeli hewan kurban yang “layak tampil”. Gengsi mengalahkan akal sehat, dan syariat pun tergeser oleh tuntutan citra. Bahkan, ada yang menunda kurban bertahun-tahun karena menunggu mampu beli sapi.
Efek lainnya adalah harga sapi yang terus naik menjelang Iduladha, seiring tingginya permintaan dari konsumen kelas menengah atas. Situasi ini berdampak pada masyarakat kecil yang ingin berqurban namun tak mampu bersaing harga. Alih-alih menjadi ruang berbagi, kurban malah menjadi simbol eksklusivitas.
Ketika kurban menjadi ajang pamer, alih-alih mempersatukan, praktik ini justru memperlebar jurang sosial yang melemahkan solidaritas. Yang muncul adalah kelas-kelas sosial yang semakin tegas batasnya, bahkan di hari raya yang seharusnya menjadi hari berbagi dan kebersamaan.
Menghidupkan Nilai Kurban Sejati
Mengembalikan kurban pada makna sejatinya menjadi tugas penting di tengah arus simbolisme kelas. Nilai spiritual kurban seharusnya menjadi jangkar utama: bahwa Allah tidak melihat bentuk dan besar tubuh hewan, tapi niat dan ketakwaan pelakunya. Pendidikan dan penguatan narasi ini perlu terus disuarakan, terutama di media dan ruang dakwah.
Keikhlasan adalah kunci utama kurban. Pilihan jenis dan ukuran hewan tidak seharusnya menjadi alat untuk menilai kualitas ibadah seseorang. Semua bentuk kurban, selama memenuhi syarat syariat, memiliki nilai spiritual yang sama di hadapan Allah. Perlu ditegaskan bahwa memilih kambing pun bisa menjadi bentuk ibadah mulia.
Edukasi publik mengenai ragam hewan kurban dan nilai sosialnya juga penting. Penekanan bahwa tujuan utama kurban adalah berbagi dengan yang membutuhkan dapat mengalihkan fokus dari gengsi menuju kebermanfaatan. Tokoh agama, komunitas masjid, dan bahkan vendor hewan kurban perlu berkontribusi dalam narasi ini.
Dalam masyarakat multikelas, penting untuk menumbuhkan kultur kurban yang inklusif. Kurban seharusnya memperkuat solidaritas lintas kelas, bukan memperlebar jurang. Ketika kurban dipahami sebagai bentuk pengabdian spiritual dan sosial, maka umat Islam dapat merayakan Iduladha dengan kehangatan sejati.
Dengan begitu, sapi tidak lagi menjadi simbol status, tapi hanya sarana menjalankan syariat. Yang menjadi simbol adalah ketulusan dan kepedulian kita terhadap sesama.