Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Pemerhati Isu-isu Pangan Lokal, mantan Peneliti Litbang Kompas

Senang menulis isu-isu pangan, lingkungan, politik dan sosbud kontemporer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kurban dan Kelas Sosial: Mengapa Sapi jadi Simbol Gengsi?

28 Mei 2025   05:44 Diperbarui: 28 Mei 2025   10:48 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi proses penyembelihan sapi kurban (Sumber: Antaranews.com)

Fenomena ini juga diperparah dengan munculnya narasi “sapi limosin” atau “sapi premium” yang dibentuk oleh penjual dan media. Konsumen diasosiasikan sebagai “berkelas” jika mampu membeli hewan dengan kualitas dan berat tertentu. Maka, makin besar sapi, makin tinggi nilai sosial yang diasumsikan masyarakat.

Dalam praktik kurban kolektif, sapi juga jadi pilihan karena dapat dipatungan oleh tujuh orang. Namun, ketika seseorang membeli sapi pribadi, itu jadi penanda kelas sosial yang lebih kuat. Bahkan, narasi “qurban pribadi dengan sapi” dianggap sebagai bentuk kemuliaan, padahal secara spiritual, keikhlasan jauh lebih utama daripada harga atau ukuran hewan.

Kurban dalam Budaya Konsumtif dan Kapitalistik

Ilustrasi sapi limousin dengan ukuran dan bobot di atas rata-rata sapi lokal (Sumber: Tempo.co)
Ilustrasi sapi limousin dengan ukuran dan bobot di atas rata-rata sapi lokal (Sumber: Tempo.co)
Budaya konsumsi modern telah merambah hampir semua aspek kehidupan, termasuk ruang-ruang ibadah. Ibadah yang seharusnya menjadi sarana mendekatkan diri kepada Tuhan, kini juga menjadi medium untuk mengekspresikan identitas sosial. Kurban tidak menjadi ekspresi spiritual sekaligus masuk ke dalam budaya kapitalistik yang mengejar citra dan validasi sosial.


Kita melihat betapa hewan kurban dijual dengan label premium: sapi limosin Belgia, sapi Brahman Australia, lengkap dengan sertifikat dan foto-foto eksklusif. Branding seperti ini membangun narasi bahwa berkurban bukan sekadar menjalankan syariat, tapi juga harus “berkelas”. Ibadah dipaketkan layaknya produk mewah.

Peran influencer dan selebritas juga tidak bisa diabaikan. Banyak dari mereka yang memamerkan sapi berukuran raksasa saat Iduladha, lengkap dengan jumlah bobot, harga, hingga vendor yang menyediakan. Hal ini memicu efek domino: masyarakat umum terdorong meniru, agar tidak tertinggal dalam “trend” kebaikan berbalut kapital.

Sayangnya, budaya ini bertabrakan dengan prinsip dasar Islam: kesederhanaan, ketulusan, dan niat karena Allah. Kurban seharusnya menjadi momen memperkuat empati sosial, bukan memperbesar ketimpangan simbolik. Gaya hidup pamer telah menyusup ke ruang sakral, dan itu terjadi tanpa banyak yang menyadarinya.

Dalam konteks ini, kurban berisiko kehilangan makna spiritualnya. Ia menjadi ibadah yang dibungkus budaya pamer, di mana yang tampil bukan keikhlasan, melainkan kelas sosial. Kurban yang seharusnya menjadi bentuk solidaritas umat, justru berubah menjadi arena kontestasi citra.

Dampak terhadap Keputusan Berkurban

Ilustrasi sapi limousin yang menjadi hewan kurban para pejabat dan figur terkenal (Sumber: Kompas.com)
Ilustrasi sapi limousin yang menjadi hewan kurban para pejabat dan figur terkenal (Sumber: Kompas.com)

Fenomena sapi sebagai simbol gengsi juga berdampak langsung pada cara masyarakat mengalokasikan anggaran untuk kurban. Banyak orang merasa perlu memaksakan diri membeli sapi demi gengsi, bahkan jika harus berutang. Keputusan ini tidak selalu didorong oleh kemampuan finansial, tetapi oleh tekanan sosial dan citra diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun