Fenomena ini juga diperparah dengan munculnya narasi “sapi limosin” atau “sapi premium” yang dibentuk oleh penjual dan media. Konsumen diasosiasikan sebagai “berkelas” jika mampu membeli hewan dengan kualitas dan berat tertentu. Maka, makin besar sapi, makin tinggi nilai sosial yang diasumsikan masyarakat.
Dalam praktik kurban kolektif, sapi juga jadi pilihan karena dapat dipatungan oleh tujuh orang. Namun, ketika seseorang membeli sapi pribadi, itu jadi penanda kelas sosial yang lebih kuat. Bahkan, narasi “qurban pribadi dengan sapi” dianggap sebagai bentuk kemuliaan, padahal secara spiritual, keikhlasan jauh lebih utama daripada harga atau ukuran hewan.
Kurban dalam Budaya Konsumtif dan Kapitalistik
Kita melihat betapa hewan kurban dijual dengan label premium: sapi limosin Belgia, sapi Brahman Australia, lengkap dengan sertifikat dan foto-foto eksklusif. Branding seperti ini membangun narasi bahwa berkurban bukan sekadar menjalankan syariat, tapi juga harus “berkelas”. Ibadah dipaketkan layaknya produk mewah.
Peran influencer dan selebritas juga tidak bisa diabaikan. Banyak dari mereka yang memamerkan sapi berukuran raksasa saat Iduladha, lengkap dengan jumlah bobot, harga, hingga vendor yang menyediakan. Hal ini memicu efek domino: masyarakat umum terdorong meniru, agar tidak tertinggal dalam “trend” kebaikan berbalut kapital.
Sayangnya, budaya ini bertabrakan dengan prinsip dasar Islam: kesederhanaan, ketulusan, dan niat karena Allah. Kurban seharusnya menjadi momen memperkuat empati sosial, bukan memperbesar ketimpangan simbolik. Gaya hidup pamer telah menyusup ke ruang sakral, dan itu terjadi tanpa banyak yang menyadarinya.
Dalam konteks ini, kurban berisiko kehilangan makna spiritualnya. Ia menjadi ibadah yang dibungkus budaya pamer, di mana yang tampil bukan keikhlasan, melainkan kelas sosial. Kurban yang seharusnya menjadi bentuk solidaritas umat, justru berubah menjadi arena kontestasi citra.
Dampak terhadap Keputusan Berkurban
Fenomena sapi sebagai simbol gengsi juga berdampak langsung pada cara masyarakat mengalokasikan anggaran untuk kurban. Banyak orang merasa perlu memaksakan diri membeli sapi demi gengsi, bahkan jika harus berutang. Keputusan ini tidak selalu didorong oleh kemampuan finansial, tetapi oleh tekanan sosial dan citra diri.