Kurban adalah ibadah yang mengingatkan tentang pengorbanan Nabi Ibrahim dan keikhlasan Nabi Ismail sehingga sarat dengan nilai spiritual. Dari keteladanan Bapak dan Anaknya ini kita bisa mengambil inti dari ibadah kurban sebagai bentuk ketundukan kepada Allah. Akan tetapi, dalam praktiknya nilai ini kerap tergeser oleh tafsir sosial yang berkembang di masyarakat modern sehingga kurban menjadi identik dengan ukuran seberapa besar hewan yang disembelih.
Di kalangan masyarakat perkotaan dan kelas menengah ke atas, kurban tidak lagi semata soal menjalankan perintah agama. Ia kerap menjadi ruang unjuk diri, arena kompetisi diam-diam antarindividu atau kelompok. Pertanyaan seperti “siapa qurbannya lebih besar?”, “berapa bobot sapinya?” atau “pakai sapi limosin, ya?” menjadi umum terdengar. Media sosial memperkuat pola ini dengan maraknya unggahan foto hewan qurban jumbo disertai caption religius.
Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran fokus dari spiritualitas menuju simbolisme sosial. Alih-alih merenungi makna pengorbanan, masyarakat justru sibuk memilih hewan kurban yang bisa mengangkat citra diri. Kesalehan kini tidak hanya dinilai dari kepatuhan beribadah, tapi juga dari nilai nominal dan ukuran hewan yang dipilih.
Kondisi ini melahirkan pertanyaan penting: apakah ibadah qurban masih dijalankan dengan niat yang ikhlas, atau sudah tersusupi oleh dorongan untuk tampil dan diterima dalam struktur sosial tertentu? Dalam masyarakat yang kian materialistik, bahkan ibadah bisa menjadi alat kapital simbolik.
Dalam tulisan ini, kita akan mengurai bagaimana fenomena kelas sosial menyusup ke dalam praktik kurban, mengapa sapi menjadi simbol gengsi, serta bagaimana ini memengaruhi pola pikir dan keputusan masyarakat dalam menjalankan salah satu ibadah tertua dalam Islam.
Mengapa Bukan Kambing?
Secara syariat, kambing, domba, dan sapi adalah hewan kurban yang sah. Namun dalam praktik sosial, sapi menempati posisi istimewa sebagai lambang kemapanan. Besarnya ukuran sapi, mahalnya harga, dan daya tarik fisiknya menjadikan sapi lebih dari sekadar hewan kurban: ia adalah simbol status. Di banyak wilayah, seseorang yang berkurban sapi secara pribadi akan langsung dipersepsikan sebagai orang “berada” dan dermawan.
Sementara kambing, meskipun sah dan penuh berkah, sering kali dianggap sebagai pilihan “kelas dua”. Di masyarakat perkotaan, kambing cenderung diasosiasikan dengan kurban minimalis. Persepsi ini mencerminkan bagaimana hewan kurban dinilai dari aspek fikih sekaligus nilai simbolik yang melekat padanya di mata publik.
Faktor lain yang memperkuat gengsi sapi adalah kemampuannya menarik perhatian. Di lingkungan masjid, seekor sapi yang besar akan langsung jadi sorotan. Ditambah dengan dokumentasi foto dan video, sapi qurban menjadi konten media sosial yang lebih “layak tampil” ketimbang kambing. Hal ini memberi insentif sosial bagi mereka yang ingin dilihat berqurban dengan mewah.