Selain faktor ekonomi, meningkatnya kesadaran akan dampak negatif konsumsi berlebihan terhadap lingkungan juga menjadi alasan utama mengapa YONO semakin berkembang.
Memilih untuk hanya memiliki barang yang benar-benar dibutuhkan, gerakan ini secara tidak langsung bisa mengurangi limbah dan konsumsi sumber daya yang berlebihan.Â
Hal ini sejalan dengan tren sustainability yang kini menjadi perhatian global, di mana banyak orang mulai beralih ke produk ramah lingkungan, slow fashion, dan gaya hidup berkelanjutan.
Oleh karena itu, tren YONO identik dengan prinsip minimalisme dan mindfulness yang mengajarkan untuk lebih kritis dalam menentukan apa yang benar-benar penting dan bermakna dalam hidup.Â
Hal ini mencakup berbagai aspek, mulai dari pola konsumsi, keuangan, hingga pengelolaan waktu. Dengan menerapkan filosofi YONO, individu diharapkan dapat mencapai stabilitas finansial, mengurangi stres, dan berkontribusi pada keberlanjutan lingkungan.
Prinsip dan filosofi YONO berkembang melalui pengaruh media sosial dan digitalisasi, di mana banyak influencer dan content creator yang membagikan pengalaman mereka dalam menjalani hidup minimalis, memberikan tips finansial, hingga merekomendasikan gaya hidup berkesadaran.Â
Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube dipenuhi dengan konten-konten yang mengajak anak muda untuk lebih selektif dalam membeli barang dan lebih memprioritaskan pengalaman bermakna daripada sekadar konsumsi materialistis.
Berbeda dengan tren-tren gaya hidup yang sempat viral selama ini seperti FOMO (Fear of Missing Out) atau YOLO, tren YONO bisa memberi pengaruh positif terhadap kesehatan mental seseorang.Â
YONO hadir sebagai solusi bagi gaya hidup konsumtif yang sering kali menciptakan tekanan sosial untuk selalu mengikuti tren terbaru, memiliki barang-barang branded, atau membandingkan diri dengan standar hidup orang lain.Â
Menerapkan prinsip YONO, orang-orang akan merasa lebih bebas dari tuntutan sosial tersebut dan dapat menjalani hidup yang lebih tenang, terfokus, dan autentik.Â
Dari tren YONO mereka belajar bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari banyaknya barang yang dimiliki, tetapi dari kualitas hidup yang lebih baik.