Sejalan dengan semakin meningkatnya kontribusi swasta domestik dalam pembangunan ekonomi nasional, maka peran pemerintah pun menjadi semakin berkurang. Fenomena tersebut akhirnya menyebabkan struktur utang luar negeri Indonesia juga mengalami banyak perubahan selama kurun waktu tiga dasawarsa terakhir.
Pada awalnya, utang luar negeri Indonesia lebih banyak dilakukan oleh pemerintah. Pinjaman pemerintah tersebut diterima dalam bentuk hibah serta soft loan dari negara-negara sahabat dan lembaga-lembaga supra nasional, baik secara bilateral maupun multilateral (IGGI dan CGI).
Selanjutnya seiring dengan semakin berkembangnya perekonomian Indonesia, pinjaman luar negeri bersyarat lunak menjadi semakin terbatas diberikan, sehingga untuk keperluan-keperluan tertentu dan dalam jumlah yang terbatas, pemerintah mulai menggunakan pinjaman komersial dan obligasi dari kreditur swasta internasional. Karena semakin pesatnya pembangunan dan terbatasnya kemampuan pemerintah untuk secara terus menerus menjadi penggerak utama pembangunan nasional, terutama sejak krisis harga minyak dunia awal tahun 1980-an, menyebabkan pemerintah harus mengambil langkah-langkah deregulasi di berbagai sector pembangunan.
Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan dorongan kepada peran serta swasta dalam pembangunan perekonomian Indonesia, melalui peningkatan minat investasi di berbagai sektor pembangunan yang diizinkan. Dengan semakin besarnya minat investasi swasta, tapi tanpa didukung oleh sumber-sumber dana investasi di dalam negeri yang memadai, telah mendorong pihak swasta melakukan pinjaman ke luar negeri, baik dalam bentuk pinjaman komersial maupun investasi portofolio, yang tentu saja pada umumnya dengan persyaratan pinjaman yang tidak lunak (bersifat komersial), baik suku bunga maupun jangka waktu pembayaran kembali.