Peristiwa tragis yang terjadi pada 28 Agustus 2025, ketika seorang pengemudi ojek online meninggal dunia setelah terlindas kendaraan taktis (rantis) milik Brimob saat demonstrasi di depan Gedung DPR RI, Jakarta, bukan sekadar catatan kelam dalam sejarah penanganan aksi massa. Bagi saya sebagai mahasiswa hukum, tragedi ini menghadirkan pertanyaan fundamental; bahwa sejauh mana aparat penegak hukum memahami batas kewenangan, menghormati hak asasi manusia, dan menjunjung tinggi prinsip negara hukum?
 Perspektif Hukum Pidana
Secara yuridis, insiden tersebut memenuhi unsur Pasal 310 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang menegaskan bahwa setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan orang lain meninggal dunia dapat dipidana. Ketika sebuah kendaraan taktis dijalankan dengan cara yang berujung pada hilangnya nyawa warga sipil, maka terdapat dugaan kuat kelalaian yang tidak bisa dilepaskan begitu saja. Lebih jauh, sejumlah akademisi menyebut tindakan ini sebagai bentuk extrajudicial killing, yakni penghilangan nyawa di luar mekanisme hukum yang sah. Indonesia memiliki International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, sehingga setiap praktik penghilangan nyawa secara sewenang-wenang bertentangan dengan komitmen internasional yang telah kita ikatkan pada diri sendiri.
Perspektif Hak Asasi Manusia
Konstitusi kita, UUD 1945, menegaskan bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mempertegas hal yang sama. Oleh karena itu, tindakan aparat yang justru menghilangkan nyawa seorang warga sipil dalam situasi demonstrasi adalah pelanggaran serius terhadap konstitusi dan undang-undang. Bagi generasi saya yang tumbuh dengan narasi demokrasi dan keterbukaan melihat aparat negara masih menggunakan kekerasan berlebihan menimbulkan rasa kehilangan kepercayaan. Negara hukum seharusnya melindungi, bukan menakut-nakuti.
Dalam konteks internal Polri, terdapat Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM. Keduanya mengatur bahwa penggunaan kekuatan hanya boleh dilakukan jika benar-benar diperlukan, proporsional, dan tidak ada alternatif lain. Fakta bahwa korban bukan pelaku tindak pidana membuat tindakan penggunaan rantis dalam kerumunan demonstrasi tidak dapat dibenarkan secara prosedural. Selain pidana umum, pelaku juga harus diproses dalam ranah kode etik profesi Polri. Transparansi dalam penegakan disiplin internal akan menjadi ujian kredibilitas institusi di mata publik.
Tragedi pelindasan ojol oleh rantis Polri adalah momentum bagi bangsa ini untuk meneguhkan kembali komitmen pada prinsip negara hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sebagai mahasiswa hukum, saya percaya bahwa hukum seharusnya menjadi pelindung, bukan alat represi. Dan ketika nyawa seorang warga melayang akibat aparat negara, maka keadilan tidak boleh berhenti pada sekadar retorika, ia harus nyata ditegakkan.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI