Mohon tunggu...
Sulfiza Ariska
Sulfiza Ariska Mohon Tunggu... Penulis - Halo, saudara-saudara sedunia. Apa kabarmu? Semoga kebaikan selalu menyertai KITA.

Penulis penuh waktu. Lahir di Sumatera Barat dan berkarya di Yogya. Emerging Writer "Ubud Writers and Readers Festival" ke-11. E-mail: sulfiza.ariska@gmail.com IG: @sulfiza_indonesia Twitter: Sulfiza_A

Selanjutnya

Tutup

Money

#BatikIndonesia Menjadikan Yogyakarta sebagai Kota Batik Dunia

10 Oktober 2016   23:07 Diperbarui: 10 Oktober 2016   23:22 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya dan Yumi Kobayashi (Foto. Dok. Pribadi)

 BATIK INDONESIA adalah local genius masyarakat tradisional Jawa. Kain ini bukan hanya memiliki fungsi menyelubungi wujud fisik manusia atau salah satu upaya pencari nafkah; melainkan sebagai jalan untuk menempatkan diri di hadapan Tuhan, lingkungan sosial, dan alam semesta. Pada motif batik tertanam ingatan (kesepakatan) kolektif yang menyangkut pendidikan moral, tata hukum, spiritualitas, dan sikap perilaku dalam mengarungi gelombang zaman. Di serat-serat kain batik diabadikan sejarah panjang masyarakat  Indonesia yang penuh peluh, tawa, dan airmata.  

Selama berabad-abad, batik telah menjadi medium komunikasi antargenerasi. Ketika produksi atau pengguna kain batik berkurang, maka tradisi-tradisi pembentuk sistem nilai yang menyatukan individu-individu dalam kerangka persaudaraan dan masyarakat, menjadi memudar dan rentan mengalami perpecahan.  

 Di sisi lain, sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan terbesar di Indonesia, Kota Yogyakarta sangat potensial untuk dijadikan sebagai Kota Batik Dunia. Bukan sekadar gudang para kaum intelektual semata, tapi Yogyakarta merupakan provinsi di Indonesia yang sangat strategis, sehingga bisa menjadi pusat lalu-lintas ekonomi dan budaya dunia. Bisa disebut, Peradaban Barat dan Peradaban Timur bertemu di Yogyakarta. Kendati demikian, upaya untuk mewujudkan Yogyakarta sebagai Kota Batik Dunia, masih perlu kerja keras dan dukungan masyarakat secara kolektif. 

 Batik Indonesia di Kota Yogyakarta

 Ketika berkecamuk klaim negara tetangga atas batik Indonesia pada 2009, Yogyakarta merupakan salah satu daerah yang sangat bersemangat melakukan perlawanan. Upaya perlawanan bukan melalui jalan kekerasan, melainkan melalui jalan budaya. Di awal Oktober 2009, diselenggarakan pameran kain batik dan Jogja Fashion Week yang mengangkat batik. Selain itu, hari jumat ditetapkan sebagai ‘hari berpakaian batik’ baik bagi pelajar, mahasiswa, ataupun instansi-instansi pemerintah. 

 Sebagai salah satu puncak perlawanan tersebut, di Kilometer Nol dibangun Monumen Batik yang diresmikan pada Desember 2009 oleh H. Herry Zudianto yang masih menjabat sebagai Walikota Yogyakarta masa itu. Pada Monumen Batik tercantum hari penetapan batik sebagai warisan budaya tak benda (The Invisible Cultural Herritage of Humanity) oleh UNESCO, yaitu 2 Oktober 2009. Penetapan ini merupakan langkah yang signifikan dalam mengukuhkan eksistensi batik Indonesia dalam wacana masyarakat global. Dan, sejak Oktober 2014, Yogyakarta resmi menyandang predikat sebagai World Batik City. Dengan demikian, peluang batik untuk berjaya di Era MEA terbuka lebar.   

Monumen Batik (Foto dari: https://furniturebatik.wordpress.com/2011/08/05/monumen-batik-yogyakarta/)
Monumen Batik (Foto dari: https://furniturebatik.wordpress.com/2011/08/05/monumen-batik-yogyakarta/)
Sayangnya, momen ‘kebangkitan batik’ pada 2009 cenderung masih sebatas euforia politik dan industri fashion; tapi belum disertai kebangkitan ilmu pengetahuan. Sebagian besar masyarakat menggunakan kain batik karena mengalami stimuli berita kontroversial yang disebarkan media massa secara repetitif. Pada Agustus sampai Oktober 2009, nyaris setiap hari media massa menyiarkan isu kontroversi batik. 

Sorotan utama media massa tertuju pada dampak klaim batik terhadap keretakan hubungan politik antara Indonesia dengan negara yang bersangkutan; bukan berperan dalam edukasi. Akibatnya, distribusi informasi yang bersifat kontroversial menimbulkan sikap reaktif dalam pemakaian kain batik Indonesia. 

Implikasinya, terjadi kesalahan persepsi dalam memaknai dan menggunakan batik. Hingga sekarang, kita menyaksikan ratusan warga Yogyakarta yang menggunakan batik setiap hari Jumat, tapi hanya segelintir yang bisa menyebutkan makna simbolik yang terkandung dalam motifnya. Dan, yang lebih memprihatinkan, sebagian besar pengguna ‘batik’ sesungguhnya ‘tidak menggunakan batik’, melainkan menggunakan ‘kain tekstil bermotif batik’.    

Selain itu, bila mengunjungi kawasan pusat perbelanjaan terbesar di Kota Yogyakarta, Malioboro, kita akan mudah menemukan pedagang batik atau pedagang yang ‘merasa’ menjual batik. Tapi, nyaris tidak seorang pun pedagang yang bisa menjelaskan filosofi yang terkandung pada motif kain batik yang dijualnya. 

Sebagian besar kain yang dinilai sebagai ‘batik’, sesungguhnya ‘tekstil bermotif batik’. Bila memasuki toko (mall) atau butik, kita bisa menemukan kain batik yang dijual dengan harga yang relatif mahal. Untuk kemeja batik lengan pendek (hem) bisa dimulai dengan harga tiga ratus ribu rupiah. Inipun belum menjamin pakaian batik yang kita beli tersebut memiliki bahan dasar ‘batik’ yang orijinal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun