Mohon tunggu...
Sulfiza Ariska
Sulfiza Ariska Mohon Tunggu... Penulis - Halo, saudara-saudara sedunia. Apa kabarmu? Semoga kebaikan selalu menyertai KITA.

Penulis penuh waktu. Lahir di Sumatera Barat dan berkarya di Yogya. Emerging Writer "Ubud Writers and Readers Festival" ke-11. E-mail: sulfiza.ariska@gmail.com IG: @sulfiza_indonesia Twitter: Sulfiza_A

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengembalikan Ajaran Ki Hajar Dewantara Sebagai Pilar Utama Konsep Pendidikan Indonesia

29 Mei 2016   23:11 Diperbarui: 30 Mei 2016   00:02 964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
[Foto dari: taufikfatur.blogspot.co.id]

Pada Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2016, muncul kabar duka yang mengguncang dunia pendidikan Indonesia. Di lingkungan kampus sebuah perguruan tinggi Sumatera Utara, seorang dosen tewas di tangan mahasiswanya. Setelah membunuh dosennya, pelaku mengalami tindak kekerasan oleh mahasiswa lain di kampus tersebut. Bila aparat yang berwajib tidak datang tepat waktu, pelaku berpotensi besar akan tewas terbunuh pula!

Peristiwa pembunuhan dosen dengan pelaku mahasiswanya tersebut, hanya salah satu gunung es dalam polemik pendidikan di Indonesia dan terekspos media. Pada pihak polisi, pelaku mengaku motifnya membunuh karena sakit hati. Pelaku sering dimarahi dan dikeluarkan dari kelas karena tidak membawa buku dan memakai kaus ketika proses belajar-mengajar berlangsung. Bahkan, pelaku diancam tidak lulus. Terakhir, muncul pula testimoni bahwa pelaku diberi nilai buruk karena korban menyaksikan pelaku berpacaran di kamar mandi.

Bila kita renungkan, pemicu pembunuhan itu adalah kekerasan yang sering dianggap sebagai bentuk ‘disiplin’. Tidak membawa buku atau memakai berpakaian kurang pantas; telah menjadi sebuah bentuk kesalahan pelaku. Tapi, bagaimana pun, pelaku merupakan mahasiswa yang memiliki hak belajar. Tindakan korban untuk mengeluarkan mahasiswa dari kelas, mengancamnya tidak lulus, dan memberinya nilai buruk; sulit untuk dinilai benar. Bahkan, bila pelaku terbukti melakukan perbuatan yang bisa dinilai kurang berasusila tersebut, 'hukuman' yang diberikan korban sangat jauh dari esensi 'mendidik'.

Alangkah indahnya bila dosen tersebut meminjamkan kemeja untuknya untuk dipakai setiap jam kuliah yang diajarnya. Atau meminjamkan buku bagi pelaku ketika proses belajar-mengajar berlangsung. Agar pelaku tetap bisa menjalani proses belajar yang menjadi haknya. Diakui atau tidak, mengubah kebiasaan itu, luar biasa sulit, serta tidak bisa menggunakan paksaan ataupun ancaman. Bila ternyata sangat kompleks dan korban tidak sanggup menanganinya, semestinya berkoordinasi terlebih dahulu dengan organisasi lembaga pendidikan atau menjalin komunikasi dengan keluarga yang bersangkutan.  

Peristiwa tersebut mengindikasikan bahwa praktik pendidikan (belajar-mengajar) di lembaga pendidikan formal telah menjauh dari ajaran luhur Ki Hajar Dewantara. Bila kita mengimplementasikan kembali ajaran Ki Hajar Dewantara, kabar duka pada Hari Pendidikan Nasional tahun tersebut, berpotensi tidak terjadi.

Dalam konsep pendidikan yang digagas Ki Hajar Dewantara, tenaga pendidik dan anak didik adalah mitra didik atau fasilitator. Pendidikan pun bersifat egaliter. Sehingga, perbedaan antara pendidik dan anak didik sangat tipis. Anak didik pun adalah ‘guru’ untuk melatih kesabaran bagi tenaga pendidikan (guru/dosen). Kompetensi tenaga pendidik tidak hanya diukur dari tuntutan kurikulum yang dipenuhi. Tapi, terciptanya suasana kasih-sayang dan persahabatan dalam proses belajar-mengajar. Dengan kata lain, mendidik bukan sekadar mengisi pemikiran atau kepala (head) dan upaya mendapatkan keahlian (skill), tapi juga mendidik akhlak atau hati (heart).

Bila kita cermati ajaran Ki Hajar Dewantara lebih jauh, tujuan pendidikan adalah pembangunan karakter pemimpin. Seorang pemimpin dalam ajaran Ki Hajar Dewantara, harus memiliki sifat: Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani (pemimpin ialah seseorang yang berada di depan memberikan suri tauladan, di tengah menggerakan semangat dan egaliter serta membangun kehendak, dan di belakang ialah memotivasi atau memberi dorongan bagi orang yang dipimpinnya). Ketiga konsep ini tidak bisa direduksi dan saling mengukuhkan. Karena itu, ketiga konsep ini perlu dibumikan sebagai pilar utama dalam praktik pendidikan di Indonesia. Agar manusia Indonesia tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab, dinamis, inovatif, setia pada kebenaran, memiliki keahlian (keterampilan), dan turut berkontribusi dalam pembangunan sosial. Dengan demikian, tercapai pula pembentukan karakter Manusia Pancasila.

Untuk membumikan ketiga konsep kepemimpinan tersebut, kita tidak cukup menggunakan lembaga pendidikan formal (sekolah/universitas) saja. Dalam konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara, lembaga pendidikan formal hanya sebuah elemen yang tidak bisa direduksi keberadaannya dari konstelasi lembaga pendidikan. Jadi; keluarga, rumah-rumah ibadah, perpustakaan, media massa, lembaga swadaya masyarakat (LSM), pasar tradisional, hutan, lautan, alun-alun, perpustakaan, dan seluruh ruang publik; adalah bagian dari lembaga pendidikan yang tidak dapat direduksi. Dengan kata lain, lembaga pendidikan adalah seluruh relasi sosial di alam semesta. Karena itu, pendidikan yang efektif adalah pendidikan yang menjadi gerakan semesta. Bila diimplementasikan, konsep pendidikan sebagai gerakan semesta ini, membuka peluang untuk menciptakan inovasi-inovasi baru dalam pendidikan.

Upaya pelaksanaan untuk mencapai tujuan pendidikan dalam ranah gerakan semesta, dirumuskan Ki Hajar Dewantara dalam konsep Tri Sentra Pendidikan, yaitu: 1) Alam Keluarga, 2) Alam Keguruan, dan 3) Alam Pergerakan Pemuda/Pengabdian Masyarakat. Bila kita relevansikan Tri Sentra Pendidikan dengan perkembangan inovasi pendidikan, kita akan menemukan konsep pendidikan yang bersifat holistik, sebagai berikut:

1. Alam Keluarga

Pendidikan pertama yang diterima oleh seorang individu adalah di alam keluarga atau rumah. Orangtua adalah guru pertama bagi anak. Maka, sebelum menikah atau berumah tangga, seseorang harus menjalani pendidikan khusus mengenai keluarga dan berkeluarga. Mereka tidak hanya harus siap (sehat) secara fisik, tapi juga siap (sehat) secara mental. Anak yang sehat (fisik dan mental) dan tumbuh di alam keluarga dengan lingkungan yang sehat pula, memiliki rasa ingin tahu alamiah (takjub) dan memiliki potensi yang rendah untuk melakukan tindakan yang negatif. Sehingga, ia akan memiliki kecintaan belajar dan siap menuntut ilmu di lembaga pendidikan formal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun