MENDADAKÂ ramai-ramai orang menghujat dan merundung Ferdian Paleka. Bersebab, youtuber muda ini membikin video prank yang tidak manusiawi kepada transpuan. Video bagi-bagi sembako itu ternyata hanya modus. Di dalam kardus yang ia bagikan justru berisi sampah dan batu.
Video tersebut lantas viral. Orang menilai apa yang dilakukan Ferdian kepada kelompok transpuan sungguh melecehkan nilai kemanusiaan. Ferdian dianggap tidak punya empati. Ia hanya mengejar sensasi meski harus mengorbankan nasib sesamanya manusia. Kita tahu di tengah kondisi perekonomian masyarakat yang krisis akibat terpaan pagebluk Covid-19, nasib kelompok rentan seperti transpuan (dan LGBTIQ), begitu terancam.
Hampir tidak ada lembaga yang menyiapkan bantuan untuk mereka. Meski ada banyak bantuan untuk masyarakat terdampak Covid-19, percayalah, LGBTIQ tidak pernah masuk daftar prioritas penerima bantuan. Apalagi mereka banyak yang tidak memiliki identitas kependudukan. Tanpa identitas, sulit mendapatkan bantuan.
Gara-gara identitas itu pula sulit bagi mereka untuk mengakses pendidikan, pekerjaan dan layanan kesehatan. Keluarga yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa anak mereka berbeda orientasi seksual, mereka akan mendepaknya dari rumah. Kemana mereka lari? Untuk bertahan hidup mereka berjuang di jalanan. Jalanan menjadi tempat yang menerima mereka apa adanya.
Kembali ke bantuan sembako. Transpun itu juga manusia. Mereka bukanlah mesin, bukan pula robot. Sebagai manusia, mereka juga lapar, mereka butuh makan. Karena itu, bantuan sekecil apapun, termasuk sembako amatlah berguna. Dan ketika Ferdian datang membawa "sembako" sempat terbersit secuil harapan di hati transpuan ini.
Namun harapan itu serupa gelembung sabun, yang pecah dan membawa kehampaan. Sampah dan batu yang dihadiahkan Ferdian itu seperti menegakkan klaim bahwa transpuan itu manusia sampah. Kontan saja itu menyakitkan hati. Karena siapa Ferdian sehingga punya hak untuk menjadi hakim bagi sesamanya manusia?
Perbuatan Ferdian sebenarnya ibarat puncak gunung es. Kita hanya melihat puncaknya yang kecil, padahal sesunggunya di bawah air menggunung berjuta persoalan. Kita masih ingat bagaimana Mira, seorang waria di Cilincing yang dibakar hidup-hidup hingga meregang nyawa. Ia dibakar hanya karena satu dugaan.
Mira diduga mencuri barang milik supir truk hanya karena ia meminta rokok si pengemudi itu. Tanpa bukti, ia dituduh sebagai pencuri dan dengan beringas nyawanya dicabut. Mira tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Ia diamu massa hanya karena ia berbeda orientasi seksual dengan banyak orang.
Kisah Mira dan Perbuatan Ferdian menandaskan betapa Indonesia tidak aman bagi komunitas LGBTIQ. Tidak saja di dunia nyata, di jagad maya mereka juga dibenci dan dicaci. Beragam hoaks diproduksi untuk menjatuhkan citra LGBTIQ, beratus berita disinformasi diproduksi demi menyudutkan mereka. Tidak hanya media, juga aparat, pejabat teras, wakil rakyat, hingga tokoh agama.
Orang-orang di negeri kita tampak saleh dan rajin beragama, tetapi nyatanya susah untuk mencintai sesamanya manusia. Agama sering kali justru menjadi senjata yang dipakai untuk terus menindas kaum rentan seperti LGBTIQ.
Tidakkah kita merinding membaca hasil penelitian Kevin Halim terkait Laporan Pembunuhan Transpuan di Indonesia? Ia mencatat terjadi tiga pembunuhan terhadap transpuan. pada 2016. Di 2017, kasus terjadi 4 kasus. Sedangkan di 2018 ada 5 kasus dan di 2019 terjadi 6 kasus. Grafiknya naik. Angka-angka itu bukan sekadar statistik. Itu menyangkut nyawa, keluarga dan masa depan seseorang. Sebab tak ada manusia yang berdiri sendiri tanpa ada keluarganya.
Video prank pembagian kardus sampah kepada transpuan di Bandung dan pembunuhan Mira semakin menegaskan, masyarakat kita sedang tidak sehat. Masyarakat kita mengalami sakit penyakit akut dalam memandang kelompok masyarakat yang berbeda orientasi seksual. Dari rahim masyarakat kita telah melahirkan beraneka kekerasan dan kebengisan. Bukankah Paleka muncul juga sebagai produk masyarakat kita yang doyan prank?
Para artis, seleb dan youtuber berlomba-lomba memproduksi video prank. Dan hampir semua video begituan tidak ada nilainya, tidak mendidik dan justru membodohi. Tetapi, video macam itu pula yang disukai banyak orang, diviralkan dan menginspirasi anak-anak.muda lainnya untuk melakukan hal serupa.
Tidak hanya di kanal youtube. Hari-hari ini jamak kita saksikan "postingan-postingan sampah" menghiasi lini masa media sosial kita. Orang suka membebek pada postingan orang lain. Tidak perlu postingan yang bagus, semakin konyol dan tolol justru semakin laku. Persis seperti dunia persinetronan kita.
Ferdian Paleka lahir dari komunitas masyarakat begitu. Masyarakat yang tidak menjunjung budaya mengejar mutu, masyarakat yang tidak mengutamakan empaty. Ia tumbuh di tengah masyarakat yang suka hal-hal konyol, masyarakat yang mencintai kebodohan. Sayangnya, jika dulu orang melakukan prank tanpa jejak rekam digital, Paleka lahir di era millenial.
Media sosial dan youtube menjadi alat yang membekaskan jejaknya. Apapun yang diproduksinya, apapun yang disebarkannya bisa dilacak. Itulah satu hal yang mungkin tidak ia sadari.Â
Namun terlepas dari perbuatannya yang tidak dibenarkan itu, mendadak muncul gerakan empaty masyarakat secara komunal. Orang-orang tergerak berdonasi dan membagikan makanan kepada kelompok transpuan. Orang-orang bahkan mendatangi kontrakannya, polisi berjaga-jaga sana. Satu hal yang tidak pernah kita bayangkan
Bahkan pada kasus paling sadis seperti pembunuhan waria bernama Mira itu pun, tidak ada kita dengar gerakan demikian. Tidak ada orang yang tergerak lalu secara bersama-sama membangun kekuatan untuk menyeret para pelaku ke penjara. Tidak ada! Apa sesungguhnya yang terjadi ini membuat kita berpikir kembali tentang makna kemanusiaan. Masyarakat kita hari ini seperti bermuka ganda.
Kasus Mira dan laku Paleka membawa kita kembali pada satu perenungan mendalam. Sesungguhnya apakah kita membenci Paleka? Ataukah kita sendiri yang menciptakannya di alam bawah sadar kita?
Boleh jadi Paleka akan dihukum kurungan lalu ia bertobat. Tetapi alam pikiran kita apakah telah merdeka dari homophomia dan transphobia? Apakah kita masih akan terus membangun stigma dan menciptakan beragam disinformasi untuk menyudutkan dan menjatuhkan kelompok LGBTIQ?
Mungkin pertanyaan sederhananya: apakah kita telah bisa memandang, menerima dan memperlakukan kelompok LGBTIQ sebagai sesama manusia? Bisakah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H