Mohon tunggu...
Sulasmi Kisman
Sulasmi Kisman Mohon Tunggu... Administrasi - Warga Ternate, Maluku Utara

http://sulasmikisman.blogspot.co.id/ email: sulasmi.kisman@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Catatan FGD, Lautan Plastik dan Ancaman Ekologi

29 Maret 2019   23:31 Diperbarui: 30 Maret 2019   00:09 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paus Sperma, Infografik Kompas

Lautan plastik dan ancaman ekologi merupakan catatan dari Focus Group Discusion dengan tema "Ancaman Sampah Plastik bagi Ekosistem Laut" digelar pada 28 Maret 2019. Pemantik: Halikuddin, PhD, Irna Sari, PhD dan Dr. Herman Oesman. Moderator FGD, Dr. Janib Achmad, Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Khairun. Kegiatan ini merupakan kalaborasi dari FPK Unkhair, USAID dan Malut Post.

Permasalahan Sampah Plastik 

FGD dimulai dengan pemaparan dari Akademisi FPK Unkhair, Halikuddin Umasangadji, PhD. Forum diajak melihat permasalahan sampah plastik, diawali dengan menampilkan foto Paus yang mati terdampar di laut.

Pada November, 2018 warga Pulau Kapota di Desa Kapota Utara, kecamatan Wangi-wangi Selatan, Wakatobi menemukan paus jenis sperm whale berukuran panjang 9,5 meter dan lebar 437 cm yang terdampar dengan kondisi membusuk. Tragisnya, setelah dibedah ditemukan 5,9 kg sampah plastik, terdiri dari: tali rafia, botol plastik, 115 gelas plastik, 2 sendal jepit, 25 kantong plastik, 19 plastik keras.

Sebelumnya Jenna Jambeck, peneliti dari Universitas Georgia di Amerika tahun 2015 merilis hasil penelitiannya di Jurnal Science. Disebutkan bahwa Indonesia merupakan negara kedua terbesar penyumbang sampah. Jumlahnya mencapai 187,2 juta ton per tahun, satu tingkat dibawah China yang memiliki volume 262,9 juta ton.

Pada masa itu, data Jenna Jambeck santer menjadi pemberitaan media. Data lain dari Grafik Global plastics production yang disadur Our World in Data (Geyer et al, 2017) juga menunjukkan produksi sampah dunia yang cenderung meningkat hingga pada tahun 2015 mencapai 350 juta ton. Mengejutkan!

Sebagian besar sampah yang diproduksi di daratan akan bermuara ke laut. Infografik Nature Communication menyebutkan bahwa Indonesia adalah salah satu dari banyak negara penyumbang sampah plastik terbesar, khususnya di wilayah sungai. Ada empat sungai di Indonesia mengandung sampah plastik terbesar: Sungai Bengawan Solo, Berantas, Serayu dan Progo.

Kota Ternate memiliki permasalahan serupa dalam manajemen pengelolaan sampah. Banyak sampah yang ditemukan di sekitar lingkungan. Sebagian masyarakat membuang sampah di badan sungai/kali mati. Alih-alih memilih kali mati sebagai alternatif setelah bak sampah tidak ada. Tanpa memikirkan bahwa nanti, ketika hujan, sampah akan terbawa dengan mudahnya ke laut. Walhasil laut menerima kiriman sampah terutama sampah plastik, yang tak terbendung.

Menurut Halikuddin, PhD kota Ternate memproduksi banyak sampah plastik karena terletak pada wilayah touristic, agricultural industry dan urban. Media Cermat partner Kumparan pada Februari 2019 merilis berita: kota Ternate menghasilkan sampah sebesar 80 juta ton per hari. Belum lagi dihitung jumlah sampah yang terbawa ke laut. Sangat memperihatinkan! Lebih-lebih jika menilik bahaya sampah plastik bagi ekosistem laut dan ancaman bagi kehidupan kita.

Sampah plastik dari segi ukurannya memiliki beberapa kategori mulai dari macroplastic, mesoplastics, large microplastic, small microplastic dan nanoplastics. Ukuran partikelnya mulai dari yang terbesar hingga sangat mikroskopis. Seiring berjalannya waktu, sampah plastik yang berukuran makro terbawa ke laut, mengendap dan terdegradasi menjadi mikroplastik bahkan suatu ketika akan berubah menjadi partikel yang lebih kecil yaitu nanoplastik.

Konsekuensinya, jika biota-biota laut terpapar dengan kondisi laut yang telah bercampur dengan sampah plastik maka akan mempengaruhi kondisi biologisnya. Sejauh ini belum ada penelitian terkait: Pengaruh sampah plastik pada biota laut di perairan Ternate. Tetapi jika merujuk pada hasil penelitian di lokasi berbeda terlihat dampaknya cukup berbahaya.

Halikuddin PhD, menyitir hasil penelitian Di Danato (2017) dan Reeves et al, (2018) bahwa sampah plastik bagi ekosistem laut akan memberikan dampak bagi manusia. Jika kita mengonsumsi biota laut yang terpapar plastik yang berukuran mikro maka beresiko terkena penyakit long cancer dan endocrine disruption.

Pencemaran Plastik, Kehidupan Laut dan Potensi Keracunan

Pemaparan kedua tentang Pencemaran Plastik, Kehidupan Laut dan Potensi Keracunan disampaikan oleh Irna Sari, PhD dari USAID Sea Project -- Suistainable Fisheries Advisor. Pengalaman pribadi mengantarkan Irna Sari, PhD, konsen dengan isu sampah plastik di laut.

Saat mengunjungi Kampung Nelayan di Maros dan riset di Kepulauan Sulawesi Selatan, beliau menemukan banyak sekali sampah plastik di laut. Bahkan beliau menceritakan beberapa hari yang lalu, Speed boat yang mengantarkan beliau dari Sofifi ke Ternate tetiba mati karena terjerat sampah plastik. Miris! Tetapi itulah fakta bahwa sampah plastik telah beredar di laut kita.

Yang menarik adalah bagaimana hubungan plastik (baca: sampah plastik) ini pada rantai makanan kita. Lalu, mengapa pencemaran plastik ini menjadi masalah? Hampir 5,25 Triliun atau 269.000 ton partikel plastik mencemari permukaan laut. 

Perlu diketahui, dibutuhkan waktu 10 sampai 20 tahun untuk mengurai kantong plastik menjadi partikel-partikel kecil. Sedangkan untuk botol plastik dibutuhkan waktu 100 tahun untuk dapat terurai. Bahkan kantong plastik yang degradble sekalipun tetap menyisakan partikel plastik.

Kondisi yang dikhawatirkan adalah dimana berat plastik akan lebih banyak dari ikan di lautan. Sejauh ini memang belum ada penelitian yang mengkajinya. Tetapi degradasi plastik yang dimulai secara mekanik, kimia dan biologis itu lambat laun akan memberikan pengaruh kepada biota dan lingkungan laut.

Sederhana misalnya: plastik yang terdegradasi akan masuk ke dalam tubuh ikan melalui sistem pencernaan. Lalu terakumulasi dalam tubuhnya. Kemudian Ikan tersebut ditangkap oleh manusia dan dijadikan santapan. Bisakah dibayangkan apa yang akan terjadi pada tubuh manusia yang mengonsumsi ikan atau biota lainnya dalam jumlah yang banyak dan waktu yang lama? Resiko keracunan mungkin akan menerpa kita.

Dalam piramida makanan bisa dilihat bahwa predator yang besar akan memakan predator-predator kecil yang berada dibawahnya. Ikan-ikan kecil yang terpapar mikroplastik akan dimakan oleh ikan besar, tuna misalnya. Siklus itu dikhawatirkan akan menjadi ancaman bagi biota laut kita. Irna Sari, PhD mengungkapan hasil riset terbaru yang menunjukkan bahwa 12% dari komoditas ikan penting di dunia mengonsumsi mikroplastik.Jika dibiarkan maka akan menjadi ancaman yang berbahaya.

Di akhir pemaparan, Irna Sari, PhD mengatakan beberapa peneliti telah berpesan bahwa konsern utama tidak hanya pada seberapa banyak jumlah tetapi lebih pada bahan kimia yang berasosiasi dengan plastik tersebut. 

Yang lebih dikhawatirkan masalah plastik akan lebih serius kedepan. Karena mikroplastik pun akan terus terdegradasi dan sampai saatnya akan berubah menjadi nanoplastik. Partikel ukuran sangat kecil ini dikhawatirkan akan meningkatkan konsentrasi polutan pada rantai makanan kita.

Sampah Plastik dari Kacamata Sosiologi

Dr. Herman Oesman cenderung melihat permasalahan sampah dari sisi sosiologis: Budaya Masyarakat dalam "Sampah Plastik" atau Budaya Membuang Sampah Sembarangan. Ada 3 pertanyaan yang menjadi point penting: (1) Berapa lama masyarakat pesisir mengenali sampah plastik?; (2) Apakah budaya dan perilaku kita bisa berubah?; (3) Bagaimana laut diperlakukan sebagai "rumah" bagi kehidupan masa depan?

Ternate merupakan wilayah pesisir yang memiliki permasalahan sampah cukup kompleks. Tahun 2012, Dr. Herman Oesman dan Abdullah Dahlan menulis salah satu buku berita: Ternate yang Meluruh. Bagian keempat didalam buku tersebut memuat Penertiban dan Problema Sampah di Kota Ternate. 27 April tahun 2011, Malut Post melansir berita tentang pedagang di Pasar 1000 Kios yang terpaksa membuang sampah ke laut. Alasannya hanya karena belum tersedianya bak sampah di sekitar area pasar. Nah bagaimana dengan saat ini? Masih tetapkah sama?

Sementara memberlakukan laut sebagai tempat pembuangan akhir merupakan cara pandang yang sangat keliru. Namun mindset ini sepertinya sulit dieliminasi jika sudah mendarah daging di dalam kehidupan masyarakat kita. Budaya semacam ini seperti sudah menjadi perilaku kolektif masyarakat.

Dr. Herman Oesman, juga menyebutkan looking glass self. Teori yang berkaitan dengan prinsip psikologi sosial oleh Horton Cooley, tahun 1902 mengenai: bagaimana seseorang mengevaluasi dirinya sendiri atas dasar sikap dan perilaku orang lain terhadapnya. Dalam hemat penulis, seseorang akan cenderung mengikuti perilaku membuang sampah sembarangan jika masyarakat di lingkungannya juga masih membudayakan perilaku yang serupa. Mungkinkah keliru?

Wilayah pesisir memiliki kearifan lokal laut. Laut bagi masyarakat pesisir merupakan rahim yang dapat memberikan rejeki dan penghidupan sehingga laut perlu dipelihara, dijaga dan dilindungi sebaik-baiknya. Bahkan menurutnya masyarakat Ternate memiliki 3 batas laut yaitu: ngolo sehe (laut dangkat); ngolo ngido (laut bagian tengah) dan ngolo lamo atau laut lepas.

Sekilas pembagian itu tak jauh berbeda dengan batasan laut yang kita kenal secara umum. Namun sejatinya kearifan lokal yang dibuat ini tidak sekadar tentang batas teritori semata melainkan sebuah kebijakan untuk memahami laut yang senantiasa memberikan penghidupan bagi masyarakat. Budaya membuang sampah ke laut sesuaikah dengan kearifan lokal kita?

Dr. Herman Oesman melanjutkan bahwa penggunaan plastik dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pesisir sepertinya patut disoal. Bayangkan saja pembungkus makanan, terbuat dari plastik atau berbahan plastik. 

Belum lagi dengan yang lain-lainya. Terbersitkah sepintas, mengapa tidak menggunakan daun pisang saja sebagai pembungkus makanan? Atau menggunakan daun-daun yang lain yang lebih degradable? Padahal masyarakat wilayah pesisir melekat dengan kearifan lokal, salah satunya penggunaan daun pisang itu. Lalu gerakan menggunakan daun pisang mungkinkah bisa direalisasikan?

Pada endingnya yang menjadi point adalah membangun kesadaran diskursif bagi masyarakat dan semua, tak terlepas itu pemerintah, swasta atau industri, LSM dan komunitas-komunitas lainnya. Menambah kesadaran akan pentingnya lingkungan akan berbuah pada kondisi ekologi yang berkelanjutan.

Dr Herman Oesman menegaskan pentingnya sosialisasi untuk merubah mindset masyarakat. Perilaku kolektif tak sadar sampah diupayakan bisa diminimalisir. Selanjutnya perlu ditekankan pentingnya laut dalam kearifan lokal masyarakat. Dimana laut harus dijadikan sebagai "rumah" dengan membangun kearifan lokalnya. Sejak dini perlu diupayakan pengurangan penggunaan bahan-bahan plastik, digantikan dengan bahan-bahan yang ramah lingkungan. Dan yang terpenting perlunya political will untuk membatasi penggunaan bahan plastik di lingkup rumah tangga hinggga ruang publik.

Rekomendasi Focus Group Discussion 

Halikuddin Umasangadji, PhD merekomendasikan strategi untuk menangani permasalahan sampah plastik di kota Ternate adalah dengan membangun kerjasama dengan Dinas Pendidikan setempat. Dimana setiap siswa-siswi Sekolah Dasar diwajibkan untuk membawa sampah plastik ke sekolah kemudian selanjutnya di daur ulang di sekolah masing-masing.

Rekomendasi dari Irna Sari, PhD (1) Diperlukan roadmap holistik yang terintegrasi dari awal dan akhir untuk mengurangi dan mengantisipasi limbah plastik; (2) Penyadaran pola perilaku: anak kecil, ibu rumah tangga sampai pada pelaku industri. Memasukan penyadaran terhadap lingkungan melalui kesadaran membuang sampah di dalam kurikulum pendidikan juga menjadi menarik; (3) Policy will, atau kebijakan yang diikuti dengan sosisalisasi kepada masyarakat dengan pemberian insentif dan disentif. Diperlukan komitmen dari semua kelompok secara konsisten dan (5) Manajemen waste dengan diperlukan teknologi untuk penanganan sampah plastik.

Sedangkan rekomendasi yang diusulkan Dr. Herman Oesman diantaranya (1) Mencoba merealisasikan ide "Festival Barangka". Barangka sendiri merupakan istilah bagi sungai atau kali mati. Kota Ternate memiliki beberapa kali mati yang oleh sebagian masyarakat dijadikan sebagai tempat membuang sampah. 

Hal ini menjadi pangkal dari permasalahan sampah plastik di laut, Ternate. Selanjutnya (2) diperlukan pelatihan dalam mengelola sampah agar bernilai ekonomis dan estetis. (3) Di ranah kebijakan diperlukan pemaksaan pada peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah dan (4) mengingat ini tahun politik, mungkin perlu dirancang satu agenda kontrak politik dengan para politisi. "Jika terpilih menjadi anggota DPR/DPRD/DPD diwajibkan untuk dapat mengatasi permasalahan sampah plastik," mungkin begitu konsepnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun