Mohon tunggu...
Sulasmi Kisman
Sulasmi Kisman Mohon Tunggu... Administrasi - Warga Ternate, Maluku Utara

http://sulasmikisman.blogspot.co.id/ email: sulasmi.kisman@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu dan Filosofi Segelas Air

22 Desember 2018   22:20 Diperbarui: 29 Desember 2018   22:26 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap jalan penyusuran ku temui anai-anai terempas dari ranting kering tak bernyawa 

Kadang mata merekah, terbelalak! Sontak, menunjuki diri sendiri. Berderas syukur dipanjatkan.. 

Kekuatan Ibu telah menjadi cambuk dalam kehidupan. 

Kehadirannya membaluti bolongan ceruk yang menganga

Setiap jalan pendakian, doa-doa beterbangan. Sungguh, tak ada yang melelahkan! Mengaguminya seperti upaya mendaki tangga langit. Kalis, terasa teramat manis jika diseruput lebih dalam. Di setiap lorong kesunyian, doa Ibu selalu menguatkan. Menjembatani diri untuk memeluk yang punya semesta. Berderas syukur tak lelah dimunajatkan, kepada Ibu, doa-doa ini mengalir seperti  filosofi segelas air.....Tak pernah kering, terus mengalir sampai akhir!

Desember, 2018

 

Puisi ini kutuliskan saat maghrib berakhir. Dingin angin Desember menudungi hati yang kelabu. Tepat lima tahun kepergian Ibu. Rasa sayang kepadanya tidak pernah berkurang. Tetapi sungguh, perasaan ini masih terasa tersayat pelan-pelan ketika menjelang senja menuju malam.

Ketika pagi, tak ku dengar lagi teriakannya membangunkan kami, seisi rumah. Segelas teh melati sudah tak kudapati semenjak ibu pergi. Rumah terasa sunyi. Nasi andalan kami sudah lama tak kami cicipi. Meskipun sejatinya aku tahu campurannya: seperdua beras biasa dan seperduanya lagi beras ketan. Tapi sungguh sesuatu yang dihasilkan akan berbeda jika bukan ahlinya yang membuatnya. Sang Maestro akan melahirkan karya-karya besar. Yang baru belajar, sejatinya perlu bersabar. Entah ini filosofi dari mana. Meski hanya sekadar nasi, tetap saja berbeda jika aku yang meracik dan menanaknya. Harus ku akui tangan ibu tak sekadar membuat nasi menjadi enak tetapi juga berhasil menjadikanya sesuatu yang dirindukan.

"Mungkin begitu, cerita tentang ibu". Aku menjawab pertanyaan pertama dengan kerinduan terbungkus kesedihan yang mendalam.  

Begitulah, cerita pertama: tentang nasi andalan rumah kami. Entahlah, ibu selalu punya cara untuk menyiasati kekurangan. Aku ingat betul, beras yang kami dapatkan tidak lain adalah beras sisa gudang yang harganya cukup terjangkau. Mungkin setara dengan beras kelas bawah. Terkadang ketika dimasak dan dimakan masih terasa bau apeknya. Sehingga, disiasati dengan mencampurkan beras ketan, tak lupa dibubuhi dengan selembar pandan agar wanginya menyeruak ke setiap butir saat ditanak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun