Mohon tunggu...
Humaniora

Bersaksi di Dekat Api 13 Mei 1998

12 Mei 2016   09:42 Diperbarui: 12 Mei 2016   09:53 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Rabu pon, 13 Mei 1998 sekitar jam 10 pagi aku meluncur pergi ke daerah Cengkareng Jakarta Barat untuk bertemu dengan teman kerja di kantor barunya. Dengan menunggangi Honda GL Pro kesayangan, perasaanku menjadi gusar ketika baru tiba di kawasan Cijantung Jakarta timur, tiba-tiba pengait tali koplingku lepas dari dudukannya. Alhasil, gigi persenelingnya tidak bisa dioper lagi. Aneh benar dan hal ini jarang terjadi mengingat hubungan antara pengait tali kopling dan dudukannya menurutku hanya bisa lepas jika memang sengaja dilepaskan dengan menggunakan obeng dan tang besi saja. Tapi mungkin juga sudah waktunya rusak, sebab sepeda motorku memang keluaran produksi tahun 1984. Sehingga tergolong kendaraan yang menyiapkan diri untuk MPP (menjelang masa pensiun). Dengan terpaksa kupinggirkan motorku dan ku-utak-atik sejenak hingga permasalahan sepele ini akhirnya bisa teratasi.

Tidak lama kemudian aku bersiap melanjutkan perjalanan lagi. Namun ketika baru kupancal engkel starternya, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari sebuah helikopter yang sedang terbang rendah di atas kepalaku dari arah tenggara menuju ke arah barat laut entah kemana tujuannya. Saat itu, langsung terlintas firasat buruk dalam hatiku. “Wah, jangan-jangan mau ada perang nih.” Sebab menurut berita Televisi tadi pagi, pada kemaren sore konon telah terjadi aksi penembakan di Kampus Trisakti yang menewaskan 4 orang Mahasiswa peserta demonstrasi. Kasak-kusuk tetanggaku yang seorang Tentara juga berkata, bahwa kota Jakarta hari ini juga sudah masuk dalam status siaga-1. Namun demi janji pada seorang teman yang sehati dan seprofesi, aku memutuskan untuk tetap pergi.

Sekitar 30 menit kemudian, laju sepeda motorku tiba-tiba dihadang oleh beberapa mobil dinas Polisi yang melintang di tengah jalan tepat di jembatan Semanggi arah ke Grogol. Seorang Polisi kemudian menyarankan aku beserta para pengendara lainnya agar menghindari area jalan Jenderal Gatot Subroto dan jalan Jenderal S. Parman demi menjaga keselamatan kita bersama. Alasan panjangnya adalah, bahwa “area jalan antara kampus Trisakti dan gedung DPR/MPR sejak tadi pagi sudah dipenuhi oleh para peserta demonstran,” katanya. Mendengar penjelasan seperti itu, perasaanku menjadi kacau. Ingin rasanya kembali pulang namun menurut perkiraanku sebenarnya letak kantor teman yang kutuju itu sudah tinggal menempuh separuh perjalanan lagi. Terlanjur jauh juga jika aku harus balik arah untuk kembali pulang. Aku kemudian membelokkan laju sepeda motorku untuk menuju kawasan Pal Merah dan selanjutnya berbelok ke kanan menuju jalan raya Panjang di kawasan Kebon Jeruk Jakarta Barat. Kemudian setelah itu, aku hanya tinggal mengambil arah lurus untuk menuju jalan raya Daan Mogot. Begitu rencanaku selanjutnya.

Memasuki daerah Permata Hijau yang mengarah ke jalan raya Panjang, tampak rombongan konvoi beberapa anggota Polisi dengan mengendarai sepeda motor trail sambil membawa senjata laras panjang model lama bergagang kayu (Gereund). Segera kuputuskan untuk merapat dan bergabung ke dalam rombongan konvoi sambil melepas helm di kepala agar terlihat jelas model rambut GBK-ku. GBK adalah singkatan dari gondrong banyak ketombe. “Maklum saja, saat jaman krismon begini, pekerjaan jadi tambah sepi.” Dan bila kondisi dompet sedang mangap, hampir bisa dipastikan bahwa rambut panjangku mudah rontok dan jatuh dimana saja semau dia. Beda banget ketika sebelum krismon melanda Indonesia, pekerjaanku selalu ada saja. Dan anggaran untuk creambath di salon milik Mbak banci yang melambai pun selalu tersedia.

Adapun tujuanku membuka helm tadi adalah agar aku disangka oleh para Polisi yang sedang berkonvoi itu sebagai anggota Intel. Sehingga aku tidak diusir dari iring-iringan rombongan konvoi. Sedangkan tujuanku bergabung dalam rombongan konvoi tersebut adalah agar aku tidak nyasar dan bebas menerobos lampu merah bersama mereka. Hehehe…Sebab saya yakin, rombongan para anggota Polisi ini pasti sedang melambung untuk menuju Kampus Trisakti dengan melewati jalan raya Daan Mogot. Pahamlah, aksi manuver tapel kuda semacam ini biasanya bertujuan untuk mengepung target dan sasaran operasi. Dan benar saja, sesampai di jalan raya Daan Mogot, mereka berbelok ke arah kanan. Sedangkan aku langsung berbelok ke arah kiri sesuai rencana awalku tadi untuk menuju ke daerah Cengkareng. Sambil memacu sepeda motorku, lalu kulirik dari kaca spion dan terlihat jelas sebagian anggota Polisi menengok agak lama ke arahku. Entah apa yang mereka pikirkan. Bodo amat sajalah, sebab yang paling penting buatku adalah aku bisa sampai tujuan dengan lancar, cepat, dan selamat.

Tiba di kantor barunya temanku, ternyata aku sudah tidak bertemu siapa-siapa lagi. Saat itu jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB alias molor satu jam dari kesepakatan awal untuk sebuah acara pertemuan. Kuputuskan untuk menunggu saja barangkali dia juga telat sepertiku. Namun sekitar satu jam aku menunggu di teras kantor yang belum ada karyawannya ini, tiba-tiba pandanganku tertuju pada kepulan asap hitam yang membumbung tinggi di langit bagian timur kawasan Cengkareng dimana aku perkirakan sumber asap itu berasal dari daerah Grogol dan sekitarnya. Saat itu juga langsung kuputuskan untuk segera pulang sambil iseng melihat aksi bakar-bakaran ban oleh para demonstran, begitu pikirku. Sebab menurutku, peristiwa ini memang langka dan pasti bakal seru. Untuk itu, aku berniat ambil arah Grogol tempat kampus Trisakti berada. Kulupakan dulu sajalah temanku, demi melihat peristiwa langka yang penuh tanda tanya. Sebab siapa tahu pada pertemuan berikutnya, kejadian ini akan bisa kuceritakan kembali pada temanku di kantor barunya ini.

Pelan-pelan kulajukan sepeda motorku melewati jalan raya Daan Mogot yang aneh karena menurutku tidak biasanya tampak sepi. Lalu, tiba-tiba aku dan pengendara lainnya berpapasan dengan segerombolan masa dengan ekspresi wajah beringas sedang mengamuk dan merusak apa saja yang ada di depannya. “Waduh..cilaka nih.” Persis ulah supporter sepak bola yang sedang marah dan kecewa karena team kesayangannya baru saja kalah dalam pertandingan. Mereka merobohkan pagar di pinggir jalan, memecah pot tanaman, serta merusak rambu-rambu lalu-lintas yang ada. Beberapa dari mereka juga ada yang menggenggam balok kayu, bata nako dan botol minuman keras.

Sial, aku kemudian dihadang oleh mereka dan diminta untuk segera membuka helm-ku. Maka terlihatlah kembali model rambut GBK-ku yang lengket karena telah basah oleh keringat aroma bawang Brebes. Dan dalam waktu yang hampir bersamaan, aku terkejut dengan suara teriakan dari arah belakangku “ini cinaaa…bunuh cinaaa..!! bakaaaaarrr..!!” seketika suasana menjadi crawd dan hingar-bingar seperti sedang syuting film kolosal yang melibatkan banyak figuran. Ada suara timpukan batu, ada suara pecahan kaca, ada suara jeritan yang menyayat rasa, serta ada suara teriakan yang garang dan bahkan terdengar juga suara ledakan bertubi-tubi yang diikuti oleh kobaran api dari beberapa kendaraan yang berserak di tengah jalan raya. Aku lalu menoleh pada seorang pengendara sepeda motor GL Pro di dekatku yang kondisi sepeda motornya jauh lebih bagus kemana-mana bila dibandingkan dengan sepeda motorku. Namun sayangnya nasib sepeda motor itu dalam sekejab langsung gosong dilalap api. Ironisnya, Bapak pemiliknya juga dipukuli, helm-nya dibanting lalu barang bawaannya juga dirampas. Termasuk tas lusuh dan dompetnya.

Saat itu aku telat untuk “ngeh” bahwa ini bukanlah aksi hooliganisme biasa. Ini adalah aksi destruktif berbau SARA yang melenceng dari teriakan para Mahasiswa Trisakti yang berdemonstrasi. Alangkah naifnya aku. Lalu dalam hatiku bertanya, “kemanakah para Polisi dan Tentara kita?” Perlahan kutuntun sepeda motorku dengan melipir di sisi kiri jalan raya. Hari sudah semakin sore. Namun estafet gerombolan masa berwajah mabuk seakan tidak ada habisnya dan bahkan kian menyemut dan bertambah banyak jumlahnya. Aku lalu menstandart-kan sepeda motorku tepat di depan sebuah bangunan Pabrik yang sedang dijaga oleh dua orang berbadan tegap dan berambut cepak rata di bagian atas kepala, persis seperti bentuk kotak amal di Mushola. Entah siapa orang ini. Anggota Polisi, anggota Tentara ataukah AKD? (AKD : Anggota karepe dewe / anggota maunya sendiri / anggota gadungan). Aku melihat, orang itu sedang membujuk para perusuh agar segera menjauh dari bangunan Pabrik yang dijaga dengan membagikan beberapa batang rokok dari dalam bungkusnya pada siapa saja yang mau menerimanya. Sedangkan, satu orang lagi aku perhatikan masih sibuk menulis dengan semprotan cat pilox berwarna putih dengan tulisan “MILIK PRIBUMI” pada pintu pagar besi bangunan Pabrik tersebut.

Menjelang Maghrib suasana makin mencekam. Kobaran api kian lahap melalap beberapa kendaraan di tengah jalan raya Daan Mogot sisi utara. Aku dan beberapa pengendara lain lalu menyeberang ke bagian selatan jalan raya untuk menghindari amukan masa yang masih beringas dan makin membabi-buta. Tepat di sebuah pertigaan jalan kecil yang beraspal di dekat sungai, aku bergerombol bersama pengendara lain sambil menunggu situasi reda. Beberapa saat kemudian muncul seorang Mahasiswa berkulit putih bersih dan bermata sipit dengan mengendarai mobil Daihatsu Taft 4x4 warna biru tua yang dibuka kaca jendelanya. Mengingat situasi yang sedang terjadi, aku dan pengendara lain berinisiatif mengingatkan dia agar segera berbalik arah untuk menghindari area jalan raya Daan Mogot. Namun sayangnya Mahasiswa itu bersikukuh tetap ingin pulang karena letak rumahnya sudah dekat dan berada di seberang jalan raya Daan Mogot ini. Ia juga sangat mengkhawatirkan kondisi keluarganya. Dengan alasan itu, aku dan pengendara lain akhirnya tak mampu untuk mencegahnya. Dan benar saja, baru juga mobil yang dikendarainya berbalik arah di jalan raya, segerombolan masa langsung mencegat dan memaksa Ia untuk segera turun dan keluar dari dalam mobilnya. Beberapa masa kemudian membalikkan mobil itu dan segera membakarnya.

Sadisnya, Mahasiswa pemilik mobil yang telah dibakar itu juga dihajar dan dirampas barang-barang bawaannya serta ditelanjangi sehingga nyaris hanya mengenakan celana dalam (CD) saja. Mahasiswa itu lalu berlari ke arahku sambil mempertahankan sebuah buku catatan kuliahnya dari aksi amukan masa yang tak henti mengejarnya. Spontan aku lalu berteriak “Ambil barangnya saja, bang. Orangnya jangan diapa-apain.” Rupanya mereka tidak menggubris, dan sebagian dari mereka malah melotot garang ke arahku. Karena tidak ada yang berani memberikan pertolongan, Mahasiswa itu akhirnya berlari ke arah perkampungan dan akhirnya bisa diselamatkan oleh beberapa Ibu-ibu yang menghalau para pengejar tadi dengan senjata kepanikan dan tangisan yang memilukan. Mahasiswa yang malang itu akhirnya dimasukkan ke salah satu rumah warga yang merasa iba terhadap nasibnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun