“Tenanglah,” kata Yogis. “Mereka enggak tahu seberapa keras pukulanmu.”
Gabit tersenyum mendengarnya. Kepalanya mengangguk dalam gerakan yang agung. Dia lantas mencomot kue sumping yang ayem di atas meja. Jendela depan sedikit terbuka. Dari sanalah udara lembap bulan Desember menyelinap masuk, memenuhi ruang tamu yang tak seberapa luas.
“Kalau saja plia botak itu tak belsama pacalnya, sudah kubikin bocol kepalanya!”
Yogis menyilangkan telunjuknya di bibir, meminta Gabit supaya diam.
“Tapi—”
“Tapi apa?” sergah Yogis. “Sudahlah,” katanya kemudian dengan nada menyerah.
Gabit kesal karena seorang pria botak menertawainya saat menonton bareng pertandingan Liverpool vs Chelsea di sebuah kafe. Ketika sesi kuis berhadiah, pria botak itu tertawa terpingkal-pingkal karena Gabit, yang bermaksud meneriakkan “Ceri” sebagai jawaban, malah terdengar seperti “Celi”. “Celi” dalam bahasa Bali berarti kelamin perempuan.
Gabit merasa tersinggung oleh tingkah si pria botak yang menurutnya tak sopan. Sementara si pria botak justru tertawa oleh kaitan yang ditemukannya antara pertanyaan kuis (Benda apakah yang biasa dijadikan hiasan kue tart? N.B.: warnanya merah) dengan jawaban yang terlontar dari mulut Gabit. Si pria botak tak tahu kalau Gabit cadel, sehingga dia menganggapnya sebagai orang iseng yang sedang berusaha melucu. Permasalahan itu—setidak-tidaknya ada satu orang yang benar-benar menganggap kejadian tersebut sebagai masalah yaitu Gabit sendiri—semata-mata kesalahpahaman. Jika seseorang hendak membuat keributan, apalagi yang berujung pada adu jotos, bisa dikatakan kesalahpahaman adalah momen yang paling pas. Tapi, pada kenyataannya, Gabit tak melakukan apapun dan hanya mengumpat kesal—dalam hati.
“Bukankah itu mengesalkan?” cetus Gabit.
“Tenanglah,” kata Yogis menghibur. “Mereka enggak tahu seberapa keras pukulanmu.”
“Kamu enggak mengelti,” sahut Gabit.