Mohon tunggu...
suherman agustinus
suherman agustinus Mohon Tunggu... Guru - Dum Spiro Spero

Menulis sama dengan merawat nalar. Dengan menulis nalar anda akan tetap bekerja maksimal.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masa Iya GKR Menelantarkan Umatnya?

15 Juni 2021   16:40 Diperbarui: 15 Juni 2021   16:46 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Komodopos.com

Beberapa hari belakangan ini media-media online dan media-media sosial masyarakat Flores, khususnya masyarakat Manggarai dibanjiri oleh berita tentang perdebatan terkait  rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (geothermal) di desa Wae Sano.

Sekadar untuk diketahui oleh pembaca yang budiman, bahwa desa Wae Sano ini sangat dekat dengan Labuan Bajo-NTT yang kita kenal sebagai kota wisata super premium.

Proyek geothermal ini diinisiasi oleh pemerintah pusat yang bekerja sama dengan PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Pembangunan proyek ini akan dibiayai oleh bank dunia (World Bank) dan Lembaga pemerintah Selandia Baru (New Zealand Foreign Affairs and Trade Aid Programme).

Pembangunan proyek ini digenjot untuk memenuhi kebutuhan energi listrik masyarakat di desa Wae Sano dan daerah-daerah di sekitarnya. Sebab, hingga sekarang masih banyak masyarakat yang tidak merasakan manfaat dari energi listrik.

Pro-kontra proyek geothermal

Rencana pembangunan proyek geothermal ini memicu perdebatan yang sengit di tengah masyarakat terutama masyarakat yang tinggal di Manggarai dan masyarakat Manggarai diaspora. Banyak masyarakat yang menolak dengan keras pembangunan tersebut, tetapi banyak juga yang mendukung. Mereka memilik dasar pertimbangannya masing-masing.

Masyarakat yang menolak misalnya, mengatakan bahwa pembangunan proyek geothermal ini merusak tatanan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat serta meruntuhkan ruang hidup masyarakat lokal, khususnya masyakat yang berada di tiga kampung, yakni Nunang, Lempe dan Dasak.

Ruang hidup yang dimaksudkan di sini mencakupi: perkampungan adat, tempat-tempat adat, lahan pertanian dan perkebunan serta sumber mata air. Tempat-tempat tersebut menopang keberlangsungan hidup masyarakat selama ini. Jika geothermal ini dilanjutkan, maka masyarakat yang hidup di desa Wae Sano akan tercerabut dari akarnya. Mereka akan kehilangan segalanya bahkan nyawa mereka akan menjadi taruhannya.

Sementara itu, masyarakat yang mendukung proyek ini juga tak kalah banyaknya. Mereka berpandangan bahwa masyarakat sangat membutuhkan energi listrik untuk menerangi rumah-rumah mereka yang selama ini gelap gulita dan untuk kepentingan-kepentingan lain dari listrik. Karena itu, proyek ini adalah peluang yang baik bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.

Sikap Gereja Keuskupan Ruteng (GKR)

Gereja Keuskupan Ruteng sangat mendukung rencana pembangunan proyek geothermal ini. Hal ini ditunjukkan melalui pembuatan Nota Kesepahaman dan kerja sama antara GKR dengan Direktorat Jendral Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi. Nota Kesepahaman tentang kerja sama ini ditandatangani oleh Uskup Keuskupan Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat, Pr pada 2 oktober 2020 (Kupang.Tribunnews.com)

Pada dasarnya, KGR menyetujui dasar pertimbangan yang disampaikan oleh pemerintah bahwa geothermal ini bertujuan untuk meningkatkan pasokan listrik di Flores khususnya di Kabupaten Manggarai Barat. Karena hinggga saat ini, masyarakat di Manggarai Barat masih tergantung pada pembangkit fosil yang menimbulkan emisi gas rumah kaca.

Lagi pula, pembangunan geothermal ini tidak akan merusak lahan masyarakat secara besar-besar seperti pengeksploitasian  tambang semen di beberapa daerah lainnya di Manggarai. Proyek geothermal ini bersifat ramah lingkungan dan resiko yang ditimbulkannya jauh lebih rendah.

Penulis sendiri sependapat dengan sikap KGR. Sebab, pembangunan geothermal lebih besar manfaatnya daripada dampak buruknya. Listrik adalah kebutuhan primer yang mau tidak mau harus dipenuhi.

Lagi pula, pembangunan proyek ini agak jauh dari perkampungan. Titik pengeborannya berada di jarak 300 m dari perkampungan sehingga sama sekali tidak mengancam keselamatan masyarakat dan menghancurkan ruang hidup mereka.

Masyarakat yang menolak barangkali belum terlalu paham terkait apa manfaat dan dampak buruk dari pembangunanan geothermal ini. Dan kebanyakan geothermal di Indonesia banyak ditolak oleh masyarakat karena mereka trauma dengan proyek pertambangan yang dibawa oleh investor-investor dari luar yang seringkali membohongi masyarakat.

Oleh karena ini, pendekatan budaya perlu dibangun semaksimal mungkin sehingga masyarakat Wae Sano yang sangat konsisten menolak pembangunan ini kemudian menerimanya. Dan penulis yakin bahwa,  Gereja Keuskupan Ruteng (KGR) nggak mungkin rela menelantarkan umatnya dengan menerima dan mendukung proyek geothermal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun