Beberapa hari lalu, saya membaca sebuah buku yang sialnya saya lupa penulisnya siapa dan judul bukunya apa. Tapi ada satu kalimat yang masih menempel di kepala seperti sebuah karet gelang di nasi kucing yang dijajakan angkringan depan kosan, kurang lebih kalimatnya seperti ini: "Membaca itu seperti menyalakan api. Setiap kata yang tereja adalah letupan bara."
Entah mengapa juga kalimat itu seakan menampar sekaligus memberikan ketenangan untuk saya. Seperti seseorang tengah berkata kepada saya, "Hidup ini terlalu panas, tapi coba deh bertahan dulu di situ." Dan tanpa berpikir panjang, serta sok puitisnya saya menambahkan dalam kepala saya sendiri kalimat tersebut dengan gaya seperti ini: "Menulis adalah cara paling syahdu untuk mengumpulkan segala letupan bara itu."
Lucunya, semakin saya pikirkan kalimat itu malah terasa semakin ironis. Karena ya, menulis (kalau jujur) lebih sering terasa seperti sebuah ngadem di tengah kebakaran yang hebat. Di luar sana dunia tengah terbakar: berita yang tak pernah memberikan kabar baik, komentar negatif sepanjang postingan, moralitas yang perlahan mulai terdegradasi, semua itu tercampur aduk seperti sebuah warung kopi yang buka 24 jam tapi tanpa memiliki pelanggan tetap yang bertukar cerita. Tapi di tengah panas itu, saya tetap duduk santai, menatap layar kosong, dan mencoba menulis walaupun kursor mengedip-ngedip seakan meledek karena tak ada satu pun kalimat yang tertulis.
Entah karena sebuah keberanian, atau memang sudah kebal cacian. Menulis buat saya jadi semacam latihan untuk bersikap bodo amat. Tidak semua api perlu dipadamkan, dan tidak semua keresahan juga harus dimenangkan dalam peperangan. Kadang cukup duduk santai di tengah-tengah kobaran api sambil menyeruput kopi, dan menikmati rokok lintingan sebagai upaya mengatasi krisis moneter diri sendiri, lalu menata bara dengan senyuman tipis: "Ya sudah, biarin saja."
Kadang saya juga berpikir begini, jangan-jangan selama ini saya bukan orang yang tengah berusaha untuk ngadem di tengah-tengah kebakaran, tapi justru menjadi bagian dari bahan bakarnya sendiri, menjadi bensin yang siap menambah kebakaran menjadi hebat. Kata-kata yang saya tulis juga merupakan sebuah keresahan yang saya pelihara, bahkan rasa ingin dimengerti yang saya sembunyikan rapi. Semuanya mungkin hanya tambahan kayu bakar agar api itu tetap menyala. Ironis, kan? Saya menulis supaya tenang, tapi setiap kalimat yang keluar malah memperpanjang nyala.
Mungkin itu sebabnya tak sedikit penulis terlihat lelah tapi tidak pernah benar-benar berhenti. Mereka seperti para pemuja api yang tidak tahu apakah sedang disembuhkan atau dikutuk oleh cahayanya sendiri. Menulis jadi semacam ritual purba yang terus dipelihara: membakar sebagian diri agar yang lain tetap hidup. Setiap kalimat merupakan pengorbanan kecil, setiap metafora merupakan abu dari sesuatu yang dulu nyata tapi sudah saya relakan jadi debu.
Lucunya lagi, saya menikmatinya. Ada sebuah kenikmatan aneh dalam menyiksa diri dengan ribuan kata. Kadang menulis bukan lagi persoalan terkait suara kita untuk didengar, tapi soal ingin membuktikan pada diri sendiri bahwa saya masih ada, bahwa bara ini masih cukup hangat untuk disebut hidup.
Jadi kalau di luar sana masih terbakar maka biarkan. Mungkin memang tugas saya bukan sebagai pemadam api, tapi hanya bertugas untuk memastikan bahwa di dalam kobaran itu masih ada sedikit cahaya yang bisa menerangi secangkir kopi, sebatang rokok, atau sepotong pikiran yang tersesat di malam hari. Karena toh, apa arti menjadi penulis kalau bukan menjadi saksi dari hal-hal yang terbakar, ya mungkin termasuk diri saya sendiri hehehe.
Maka menulis pada akhirnya merupakan bentuk paling elegan dari kebodohan yang murni dan jujur: kita tahu tak akan menyelamatkan siapa pun, tapi kita tetap menyalakan api kecil di sudut meja, berharap bara itu cukup untuk membuat hati terasa hangat, ya walaupun hanya sesaat. Kalimat-kalimat yang saya tulis juga bukanlah sebuah senjata, bukan pula doa, tapi bisa dibilang semacam catatan-catatan kecil dari seseorang yang terlalu sadar bahwa hidup ini terlalu sementara dan hanya numpang ketawa dan minum saja, sialnya ialah terlalu menarik untuk tidak dituliskan.
Jadi, yaaaa. Oke ngadem di tengah kebakaran, antara bara dan bodo amat, di sanalah saya duduk di keadaan setengah waras, setengah terbakar, sambil terus menulis agar abu-abu ini punya alasan untuk tetap hidup walaupun sedikit gila.