Mohon tunggu...
Achmad Suhawi
Achmad Suhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Politisi Pengusaha

MENGUTIP ARTIKEL, Harap Cantumkan Sumbernya....! "It is better to listen to a wise enemy than to seek counsel from a foolish friend." (LEBIH BAIK MENDENGARKAN MUSUH YANG BIJAK DARIPADA MEMINTA NASEHAT DARI TEMAN YANG BODOH)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Inkonsistensi Mahkamah Konstitusi terhadap Hukum Pemilu

27 November 2021   01:15 Diperbarui: 27 November 2021   01:17 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mahkamah Konstitusi Melawan Putusannya Sendiri

Pada tahun 2018 atau setahun sebelum pemilihan umum (Pemilu) tahun 2019 dilaksanakan, KPU sempat berinisiatif membuat Peraturan Komisi Pemilihan Umum atau PKPU untuk melarang calon Legislatif (Caleg) mantan terpidana. PKPU tersebut dimaksudkan untuk menghadang calon anggota DPR RI, DPD RI dan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang pernah menjadi Terpidana. Inisiatif tersebut mengundang sejumlah polemik. Di satu sisi KPU bukan lembaga yang memiliki kewenangan untuk membuat norma baru, karena kewenangannya lebih terbatas sebagai penyelenggara pemilu. Di sisi lain telah ada putusan MK yang memperbolehkan mantan terpidana untuk menjadi Caleg.  Kehendak dari sejumlah pihak untuk menghalangi mantan terpidana, khususnya terpidana korupsi menjadi calon legislatif pun kandas. Hal itu sebagai konsekuensi dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersifat final and binding.  Dan eks Terpidana pun boleh menjadi Calon Legislatif (Caleg) di semua tingkatan dan juga boleh menjadi Calon Kepala Daerah (Cakada), Gubernur, Bupati / Walikota, selama tidak dicabut hak politiknya oleh Pengadilan. 

Kebolehan mantan terpidana untuk menjadi Caleg dan Cakada setelah MK menetapkan putusannya secara berulang kali. Mahkamah telah membuat Putusan nomor 42/PUU-XIII/2015 atas permohonan pemohon bernama Jumanto dan Fathor Rasyid yang memberikan kuasa kepada Yusril Ihza Mahendra, dkk. Uji materiil dilakukan terhadap Undang-undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilu pada Pasal 7 huruf g dan h. Dalam Pasal 7 huruf g berbunyi : "Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih." Sedangkan di Pasal 7 huruf h berbunyi : "Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap." Dan Mahkamah mengabulkan atas uji materiil Pasal tersebut terhadap UUD NRI 1945.

Putusan Mahkamah Konstitusi atas Judicial Review Pasal 7 tersebut diatas membolehkan eks Terpidana untuk menjadi Calon Legislatif (Caleg) dan Calon Kepala Daerah (Cakada) dengan syarat. "Sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana." Artinya, MK memperbolehkan semua eks Terpidana tanpa terkecuali, termasuk mantan terpidana dengan kasus Korupsi, Terorisme, dan Kealpaan untuk menjadi Caleg dan Cakada. Kebolehan tersebut karena Caleg dan Cakada adalah jabatan publik yang dipilih (elected officials). Mahkamah berpandangan bahwa, "Seseorang yang telah menjalani hukuman dan keluar dari penjara atau lembaga pemasyarakatan pada dasarnya adalah orang yang telah menyesali perbuatannya, telah bertaubat, dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya. Dengan demikian, seorang mantan Narapidana yang sudah bertaubat tersebut tidak tepat jika diberikan hukuman lagi seperti yang ditentukan dalam Pasal 7 huruf g Undang-undang nomor 8/2015". Putusan ini menegaskan bahwa setiap orang yang telah menjalani hukuman atau mantan Terpidana haknya tidak boleh dikurangi sedikit pun selain daripada putusan yang telah diputuskan oleh Pengadilan.

Pendapat Mahkamah tersebut senada dengan putusan yang menolak permohonan uji materiil atas Pasal 182 Huruf g dan Pasal 240 Ayat (1) Huruf g Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dengan putusan nomor 81/PUU-XVI/2018. Putusan tersebut dibuat atas permohonan pemohon yang bernama Muhammad Hafidz, dkk. Dalam waktu yang hampir bersamaan ada permohonan uji materiil dari SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) atas materi hukum yang sama, sehingga MK menetapkan putusan nomor 83/PUU-XVI/2018. Kedua putusan tersebut diputuskan pada tanggal 12 Desember 2018. Kedua pemohon mengajukan uji materiil terkait dengan kebolehan mantan narapidana korupsi menjadi kontestan peserta pemilu, yaitu Caleg. Meskipun dalam pokok perkara yang dimohonkan terkait dengan pencalegkan. Akan tetapi, karena norma yang diputuskan oleh Mahkamah adalah norma tentang pemilu maka seyogyanya berlaku pula untuk Cakada. 

Mahkamah dalam amar putusannya tanggal 12 desember 2018 mempertimbangkan bahwa argumentasi para pemohon yang mengatakan bahwa hanya mantan terpidana korupsi yang tidak layak menduduki jabatan publik, dipandang oleh Mahkamah sama artinya bahwa pemohon menganggap mantan pelaku kejahatan lain boleh menduduki jabatan publik. Walaupun mahkamah menyatakan memahami tujuan dari para pemohon yang pada dasarnya hendak meniadakan peluang dari semua mantan terpidana pelaku kejahatan untuk menduduki jabatan publik, tetapi Mahkamah menolak kedua permohonan perkara tersebut. Penolakan Mahkamah sejatinya sejalan dengan putusan sebelumnya, yaitu Putusan nomor 42/PUU-XIII/2015. Putusan tersebut sekaligus memperkuat putusan nomer 4/PUU-VII/2009 atau 9 tahun sebelumnya.

Dari berbagai putusan Mahkamah Konstitusi diatas, sejatinya menegaskan bahwa norma Undang - undang yang esensi materi / muatannya memuat klausul atau frasa sebagaimana yang termuat dalam putusan nomor 42/PUU-XIII/2015, dimana Mahkamah telah berkali-kali menegaskan pendiriannya sebagaimana Putusan Nomor 71/PUU-XIV/2016, Putusan Nomor 14-17/PUUV/2007 yang ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009, Putusan Nomor 120/PUU-VII/2009, dan Putusan Nomor 79/PUU-X/2012. Semua putusan tersebut sejalan dengan hakekat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat yurisprudensi peradilan yang bisa menjadi sumber hukum tata negara, baik yang bersifat formal maupun material, menurut Jimly Asshiddiqie dalam bukunya tentang Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. 

Mahkamah melalui putusan-putusan tersebut diatas menegaskan bahwa norma Undang-undang yang materi/muatannya seperti yang termuat dalam Pasal 7 huruf g UU 8/2015 adalah inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Dimana syarat yang dimaksudkan oleh Mahkamah adalah : (1) berlaku bukan untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials); (2) berlaku terbatas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; (3) kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; (4) bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang. 

Dari ulasan tersebut di atas terlihat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi telah menjadi sumber hukum formal dan material. Putusan Mahkamah merupakan yurisprudensi peradilan yang terkait dengan praktek penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Jadi, meskipun materiilnya tertuang dalam muatan norma Undang - undang yang berbeda tetapi putusan Mahkamah Konstitusi tetap berlaku pada norma selanjutnya. Sehingga putusan nomor 42/PUU-XIII/2015 berlaku pula dalam menilai konstitusionalitas Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016, yang berbunyi: “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan, tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana." Bila dalam putusan tersebut bersifat alternatif maka tidak demikian dengan Putusan Nomor 56/PUU-XVII/2019. Putusan Mahkamah Nomor 56/PUU-XVII/2019 berbeda dengan putusan-putusan sebelumnya. Mahkamah melalui putusan tersebut menggeser menjadi kumulatif, sehingga berimplikasi terhadap kepastian hukum dimana putusan Mahkamah merupakan salah satu sumber hukum pemilu. 

Sebab, Putusan nomor 56/PUU-XVII/2019 bertentangan dengan putusan nomer 4/PUU-VII/2009 dan Putusan nomor 42/PUU-XIII/2015, serta bertentangan pula dengan putusan nomor 120/PUU-X/2009, putusan nomor 79/PUU-X2012, bahkan bisa dikatakan bertentangan dengan Putusan nomor 82/PUU-XVI/2018 dan Putusan nomor 83/PUU-XVI/2018 walaupun menolak permohonan pemohon. Padahal Mahkamah dalam Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015 menyatakan : Kata “dikecualikan” dalam syarat ketiga dari amar Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009 mempunyai arti bahwa seseorang yang terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana maka syarat kedua dan keempat dari amar Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009 menjadi tidak diperlukan lagi karena yang bersangkutan telah secara berani mengakui tentang status dirinya yang merupakan mantan narapidana. Jadi ketika seorang mantan narapidana selesai menjalani masa tahanannya dan mengumumkan secara terbuka dan jujur bahwa dia adalah mantan narapidana, maka ia dapat mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati, dan walikota atau mencalonkan diri dalam jabatan publik atau jabatan politik yang pengisiannya melalui pemilihan (elected officials). Pendirian Mahkamah melalui Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 tersebut tidak saja sejalan dengan prinsip persamaan dihadapan hukum, bahkan lebih daripada itu, memuat persamaan kesempatan dalam pemerintahan. Dalam konteks negara demokrasi maka pendirian Mahkamah juga sejalan dengan hakikat demokrasi dimana pemilik kedaulatan tertinggi adalah rakyat yang bisa dengan bebas menentukan pilihannya. Oleh karena itu, apabila mantan narapidana tersebut tidak mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana maka berlaku syarat kedua putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 yaitu lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya berlaku. Jadi syarat tersebut merupakan syarat alternatif bukan kumulatif. 

Jelas bahwa Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 56/PUU-XVII/2019 membuat norma yang berbeda dari putusan-putusan sebelumnya terkait dengan pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah (pemilukada). Putusan tersebut memberikan pendirian yang berbeda dalam mensikapi Calon Legislatif (Caleg) dengan Calon Kepala Daerah (Cakada) mantan Terpidana. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun