Mohon tunggu...
Achmad Suhawi
Achmad Suhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Politisi Pengusaha

MENGUTIP ARTIKEL, Harap Cantumkan Sumbernya....! "It is better to listen to a wise enemy than to seek counsel from a foolish friend." (LEBIH BAIK MENDENGARKAN MUSUH YANG BIJAK DARIPADA MEMINTA NASEHAT DARI TEMAN YANG BODOH)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

PP 99 Akar Ketidakadilan dan Over Kapasitas

5 April 2020   00:48 Diperbarui: 17 Juni 2023   20:46 1537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mafia Hukum Di Peradilan.

Setiap orang yang berhadapan dengan hukum apalagi sudah inkrah merupakan suatu bencana bagi dirinya sendiri dan pihak keluarga. Hal ini tidak terlepas dari pranata sosial yang umum berlaku di Indonesia. Proses hukuman tersebut berdampak -- mulai sejak menjadi terdakwa sampai dijatuhi vonis --  kepada seluruh aspek dan dimensi kehidupan yang bersangkutan terutama dalam kaitannya dengan aktivitas keseharian mulai aktivitas politik, ekonomi, sosial dan budaya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Relasi sosial dan relasi kekeluargaan yang berlangsung di Indonesia menyebabkan hukuman kepada seseorang individu yang menjadi narapidana berubah menjadi hukuman kepada seluruh anggota keluarganya, terutama manakala ia adalah tulang punggung keluarga, sumber utama atau pencari nafkah yang menjadi tumpuan penghidupan keluarga. Jadi, anggota keluarga yang tidak pernah terlibat, bahkan tidak mengetahui sama sekali tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku pidana atau narapidana, namun dalam prakteknya bisa lebih menderita dari sang narapidana yang menjalani kehidupan di Rumah Tahanan (Rutan) dan lapas. 

Demikian pula jika orang yang berhadapan dengan hukum adalah sandaran utama perusahaan, maka seluruh nasib keluarga para pekerja di perusahaan tersebut bisa terganggu penghidupannya. Saham perusahaan hancur, penjualan menurun, dan suasana lingkungan kerja tidak lagi kondusif akibat proses hukum yang harus dijalani. Dan salam banyak kasus korupsi hal ini jarang dibuka ke publik, cerita dan berita yang mencuat hanya bos Perusahaan A ken OTT atau pimpinan perusahaan B terjerat masalah hukum sedangkan dampak yang ditimbulkan jarang menjadi sorotan media massa. Bahkan dmpak terhadap macetnya proyek yang ditangani, adanya perumahan karyawan, atau material proyek yang rusak dan tidak terpakai seperti Hambalang karena pimpinan perusahaannya mendekam dalam Bui tidak permah di evaluasi.

Pranata kehidupan keluarga sebagaimana digambarkan diatas menjadi motif dari sebagian Narapidana kenapa ia masih bertahan sebagai pelaku kejahatan meskipun telah menjalani hukuman, mengendalikan kejahatan didalam dan diluar Bui dengan tetap menjadi Bandar Narkoba atau pelaku kejahatan lainnya, walaupun ia berada di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rutan. Tuntutan hidup menjadi alasan utama kenekatan para pelaku kejahatan dalam melakukan aksi kejahatan. Akibatnya, banyak pelaku kejahatan berulang yang menjadi penghuni Bui dengam tetap melakukan kejahatan dari balik Bui atau tetap menjadi penjahat setelah bebas dari hukuman. Artinya, Bui sebagai sarana penjeraan bagi pelaku kejahatan ternyata tingkat efektifitasnya perlu ditelaah dengan komprehensif. Selain daripada itu, menjalani kehidupan di Lapas dan Rutan memberikan pelajaran bahwa penjahat kelas teri dengan kelas kakap ketika tertangkap menghadapi resiko dan mengalami perlakuan yang sama. Disini sebenarnya hakekat pembinaan yang dilakukan Lapas menemukan relevansinya. Lapas dan Rutan bukan sekedar sarana memberi hukuman tetapi juga pembinaan agar setiap Narapidana menyadari perbuatannya, sekaligus mengetahui cara untuk memperbaiki kekeliruan yang dilakukan dan menjadi insan yang paham, sadar dan taat hukum.

Sementara praktek peradilan di Indonesia sebagai upaya menekan tingkat kejahatan selain melakukan penjeraan melalui hukuman kepada pelaku kejahatan, sejatinya belum mempertimbangkan dampak lain dari suatu vonis yang dijatuhkan. Padahal, beratnya sanksi hukuman tidak menjamin bahwa hal itu akan menimbulkan efek jera bagi setiap pelaku kejahatan, bahkan dalam kasus tertentu bisa melahirkan kejahatan baru dalam bentuk lain, semisal akibat tuntutan hidup, dendam, tidak adanya pemahaman terhadap kesalahan yang dilakukan, sehingga mudah menjadi pelaku kejahatan berulang. Terjadinya pelaku kejahatan berulang bisa didorong oleh beberapa faktor diantaranya, karena belum ada layanan Konseling di Lapas dam Rutan, kalaupun ada barangkali hanya di Lapas dan Rutan tertentu saja. Selain itu, Majelis Hakim dalam menangani suatu perkara selalu berpedoman pada bukti materiil, padahal sensitifitas, kebersihan nurani, dan moral hakim dalam menilai suatu perkara sangat diperlukan untuk mewujudkan keadilan. Sebab kebenaran materiil belum tentu sejalan dengan kebenaran substantif, walapun secara prosedur berdasarkan hukum positif terpenuhi. Hal itu menjadi sebab banyaknya terdakwa yang menjalani vonis tidak sesuai dengan perbuatannya. Dan ditambah dengan praktek mafia hukum dan mafia peradilan yang selalu melibatkan aparat penegak hukum tanpa terkecuali, termasuk Hakim.

Korban praktek mafia hukum dan mafia peradilan lebih tragis lagi. Narapidana yang harus menjalani kehidupan di Bui karena menjadi korban fitnah, korban praktek mafia hukum, korban mafia peradilan, korban konspirasi dan korban persekongkolan jahat dari pihak tertentu seringkali melibatkan para penegak hukum mulai dari tingkat penyidik, penuntut, hakim, bahkan sampai kepada penentuan besaran vonis hukuman.  Walaupun jumlahnya belum bisa dipastikan tetapi tidak sedikit dari mereka yang turut menghuni Lapas dan Rutan sampai over kapasitas. Narapidana yang menghadapi kenyataan pahit semacam ini juga ikut menjadi penghuni Bui sehingga over kapasitas semakin akut. 

Pada kenyataan rasa keadilan sangat tergantung disisi mana seseorang berada, sehingga hukum sebagai law of enforcement betul - betul perlu dilaksanakan dengan penuh kearifan, kebenaran substantif dan berkeadilan, baik secara prosedural maupun materiil. Sebab mengalami pahit getirnya kehidupan bisa membuat orang mendapat hidayah tetapi bisa juga sebaliknya, menyimpan bara kebencian dan dendam kejahatan. Memang tidak semua penghuni rutan dan lapas adalah pelaku kejahatan, demikian pula, tidak semua pelaku kejahatan selalu berada di rutan dan lapas. Jadi pelaku kejahatan yang masih berkeliaran dengan memakai topeng kebenaran, berbicara penuh semangat tentang kebaikan, pemberantasan korupsi, HAM, keadilan, dan moral masih banyak yang bebas berkeliaran, barangkali lebih bayak dari penghuni rutan dan lapas. Dan mereka terus menjalankan aksi kejahatan sekaligus menutupi jejak kejahatannya dengan rapi serta hati-hati.

PP 99/2012 Praktek Vonis Tanpa Peradilan.

Over kapasitas di rutan dan lapas perlu diurai dari akar permasalahan karena telah menjadi tumpukan gunung es. Pemberatan hukuman tanpa vonis pengadilan telah terjadi sejak tahun 2012. Keberadaan PP (Peraturan Pemerintah No. 99/2012) yang menghapus sejumlah hak narapidana untuk memperoleh remisi, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat bukan saja mengabaikan tupoksi dan kewenangan Lapas dan Rutan dalam melakukan pembinaan, penilaian dan pegawasan secara langsung terhadap individu para Narapidana yang menjadi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). PP No. 99/2012 telah mengabaikan peluang dan kehendak Narapidana untuk berubah dari seorang narapidana menjadi lebih baik dan berperilaku baik selama menjalani hukuman, khususnya selama menjalani hidup di Lapas dan Rutan. Dampak dari PP No. 99/2012 ialah narapidana tipikor, narkoba, terorisme, genocide tidak mendapatkan hakya sebagai WBP.  Hal ini berbeda dengan pidana umum atau kriminalitas, dalam prakteknya, pelaku kejajatan semacam pembunuhan bisa menjalani hukuman lebih sedikit dibandingkan dengam tipikor, terorisme, dan narkoba walaupun vonisnya lebih besar. Narapidana yang terkena PP 99/2012 bila menerima vonis 4 (dua) tahun dalam prakteknya bisa menjalani hukuman kurungan yang sama dengan 10 (sepuluh) tahun vonis pidana umum, kriminal semacam pelaku pembunuhan, perampokan, atau pemerkosaan. 

PP No. 99/2012 hadir sebagai pemberatan hukuman diluar pengadilan kepada sejumlah narapidana kasus pidana, semacam korupsi, narkoba, teroris, dan kejahatan kemanusiaan (genocida) yang acapkali lepas dari kenyataan bahwa banyak orang yang divonis sebagai koruptor tetapi yang bersangkutan justru rumah tinggal saja masih kontrak atau nilai korupsinya baru 12 juta rupiah dengan vonis diatas 4 tahun kurungan. Publik sering disesatkan dengan opini bahwa kasus korupsi bernilai miliaran rupiah atau bahkan triliunan tetapi melupakan bahwa pungli yang nilainya hanya jutaan rupiah masuk katagori kasus korupsi, pejabat yang menerima cendera mata senilai diatas 1 juta rupiah adalah gratifikasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun