Kawasan tangkap ikan bagi nelayan menyempit semenjak adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP-3-K), dan dilanjutkan dengan aturan pemerintah Daerah masing - masing tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K).
Dengan aturan tersebut, bagi "nelayan kecil" yang biasa mencari nafkah tak jauh dari pantai merasa terbebani, seolah kawasan tangkapan mereka di kuasai oleh aturan yang dinilai kurang memahami dengan keadaan masyarakat pesisir. Pastinya "Nelayan kecil" tak sanggup untuk membeli kapal besar agar bisa menangkap ikan di laut lepas.
Apalagi adanya zonasi tambang di laut, tentunya hal ini sangat menyayat hati bagi "nelayan kecil", terkadang mereka hanya mampu meratapi kurangnya hasil tangkap dan berdampak buruk terhadap ekonomi keluarga. Setelah ekosistem laut tercemar, Kemana lagi "nelayan kecil" mengais rezeki?
Belum lama ini, berita dari berbagai media massa menyebutkan adanya aktivitas "masyarakat nelayan" lakukan aksi damai menolak penambangan di kawasan laut wilayah Provinsi Bangka Belitung, hal itu wajar saja terjadi karena nelayan memikirkan dampak buruk bagi kehidupan mereka.Â
Kendati nelayan melakukan aksi tersebut, penambangan tetap berjalan karena dapat dukungan dari berbagai pihak, dengan dalih sudah sesuai dengan aturan.Â
Bagaimana nasib keluarga "nelayan kecil" semenjak wilayah tangkap ikan mereka dijarah dengan aturan?
Air laut pastinya terkontaminasi, bagaimana keadaan ekosistem laut pasca penambangan?