"Sejarah berulang, pertama sebagai tragedi, kedua sebagai lelucon." -- Karl Marx
Andi, seorang mahasiswa semester akhir di Jakarta, menatap layar ponselnya di sela aksi demonstrasi. Keringat bercampur air mata mengalir di wajahnya, bukan karena haru, melainkan akibat semburan gas air mata yang barusan mendera. Di layar ponselnya, sebuah siaran langsung dari Istana Negara memperlihatkan Presiden Prabowo dengan gagah menyematkan tanda kehormatan kepada ratusan tokoh dan pejabat negara.
Andi terdiam sejenak. "Lucu juga ya," gumamnya lirih, "di istana mereka pesta pora, di sini kita ditraktir pentungan."
Kontras ini begitu nyata: di dalam ruangan ber-AC, ratusan pejabat bergembira dengan medali mengkilap; sementara di luar, rakyat kecil, mahasiswa, pelajar, hingga ojol, menerima penghargaan versi mereka sendiri---berupa pentungan aparat dan gas air mata.
Upacara di Istana itu seolah ingin menunjukkan penghargaan negara kepada para tokoh yang dianggap berjasa. Tetapi pertanyaan reflektif muncul: jasa kepada siapa?
Seorang pengemudi ojol, Joko, yang ikut aksi karena tuntutan biaya hidup yang kian mencekik, berujar dengan getir, "Kalau pejabat baru setahun kerja sudah dapat medali, berarti kami ojol tiap hari ngebut di jalan, pantasnya dapat bintang jasa juga dong. Bedanya, jasa kami nggak pernah disiarkan di TV."
Kutipan Joko mungkin terdengar jenaka, tapi sekaligus menelanjangi paradoks negeri ini.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2025, angka kemiskinan di perkotaan memang menurun tipis, tetapi ketimpangan sosial tetap menganga. Gini ratio Indonesia masih di kisaran 0,38, artinya jurang antara si kaya dan si miskin tetap lebar.
Sementara itu, Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2024 mencatat bahwa 71 persen masyarakat merasa kebijakan pemerintah lebih banyak menguntungkan elite dibanding rakyat kecil. Dengan kata lain, perasaan Andi, Joko, dan ribuan rakyat yang turun ke jalan bukan sekadar emosional, tapi tercermin dalam data.
Paradoks ini mirip dengan apa yang ditulis Prabowo sendiri dalam bukunya Paradoks Indonesia: di satu sisi negeri ini kaya sumber daya, tapi di sisi lain rakyatnya masih banyak yang sengsara. Ironisnya, kini paradoks itu tidak hanya jadi judul buku, tetapi juga jadi kenyataan sehari-hari di bawah kepemimpinannya.