Mohon tunggu...
Suhandi Taman Timur
Suhandi Taman Timur Mohon Tunggu... -

Pengamat gaya hidup, transportasi, pariwisata dan politk. Tidak setuju bila politik dibilang kotor, karena yang kotor itu hanya sebagian dari politisinya.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Siapa Tahu Kue Doger?

31 Maret 2010   11:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:04 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kepada teman-teman para blogger Kompasiana yang budiman, yang kebetulan mengenal dan mengetahui sejenis kue yang bernama kue Doger, bersama ini saya mohon bantuan untuk mendapatkan info tentang keberadaan kue tersebut. Tentunya, yang saya maksud disini adalah keberadaan tukang jualan kue Doger tersebut.

Saya mengenal kue ini sejak lima setengah dekade yang lalu. Yah, memang sudah sangat lama sekali. Lebih dari setengah abad. Dulu saya mengira bahwa kue ini bernama kue Pancong. Memang kue ini adalah kue khas Betawi. Mungkin, kue ini masih satu “keluarga” dengan kue Rangi, kue Pancong dan lain-lain. Anehnya, kalau kue Rangi, kue Pancong, dodol lipet, kerak telor dan lain-lain masih bisa kita jumpai dengan mudah di berbagai tempat di Ibukota, kue Doger ini justru seperti menghilang. Lenyap ditelan jaman. Suatu hari saya berjalan-jalan ke Pasar Mayestik, Kebayoran Baru. Di suatu sudut, saya melihat banyak penjual kue-kue dari berbagai macam jenis seperti kue Rangi, kue Pancong, kue Apé, kue Cubit, kue Bolu dan lain-lain. Saya memberanikan diri untuk bertanya kepada para pedagang disana, apakah disitu ada yang jualan kue Doger? Tapi jawabannya sama: “Kue Doger? Nggak ada Pak, ada juga es Doger”. Wah, saya tidak lagi mencari es Doger.

Ada apa saya mencari-cari kue Doger ini gerangan? Ceritanya agak panjang dan merupakan kenangan saya di masa kecil di daerah Petojo. Pertama kali saya mengenal kue ini adalah pada waktu saya bersekolah di Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah dasar) di kawasan Taman Petojo, Jagamonyet. Waktu itu saya duduk di kelas IV. Guru saya bernama Pak Burhan, orang Palembang. Saya dan teman saya sebangku, Hidayat, duduk di baris paling depan persis dihadapan meja beliau. Kebiasaan Pak Burhan adalah hampir setiap pagi memesan segelas kopi tubruk dan sepiring kue Doger, yang dulu saya kira bernama kue Pancong tersebut. Satu piring berisi dua potong kue Doger. Jadi setiap hari, kegiatan belajar saya selalu “terganggu” oleh kehadiran penganan harian Pak Burhan ini. Aroma wanginya kopi tubruk panas yang mengepu-ngepul dan harumnya kue Doger ini langsung merasuk ke dalam hidung saya. Wanginya kopi tidak terlalu menggoda karena pada waktu kecil saya tidak ngopi. Tapi bau semerbak dari kue Doger itu membuat saya selalu ngiler dan membikin saya kepengen ikut makan. Menghadapi godaan berat ini saya merasa serba salah. Mau bertahan, konsentrasi belajar terganggu? Mau nyomot, eh nggak berani? Mau minta, nggak sopan? Akibatnya rasa kepengen ini harus saya tahan sampai waktu pulang. Pada masa itu, saya tidak pernah diberi uang jajan oleh Emak dan Ayah. Menurut mereka, kalau mau jajan boleh tapi tidak disekolah pada saat jam belajar.

Kebetulan juga, Emak saya selalu berbelanja, baik belanja harian maupun bulanan di pasar Petojo yang terletak tepat di seberang gedung sekolah saya. Saya tidak ingat lagi nama pasar tersebut, pasar Petojo Enclek apa Petojo Binatu? Sebagai anak tertua di keluarga, apalagi Emak tidak mempunyai anak perempuan, saya sering diajak ikut berbelanja. Setiap kali melewati tukang kue Doger yang berjualan di pasar tersebut, saya tidak melewatkan kesempatan itu untuk minta dibelikan kepada Emak. Saya memang sangat dekat dengan Emak. Saya sering bercerita tentang kue “pancong” Pak Burhan yang selalu mengganggu ketenangan proses belajar saya. Rupanya, Emak cukup mengerti tentang “penderitaan” anaknya selama berada di dalam kelas terutama pada pagi hari. Pada waktu itu saya ingat betul, baik Emak, si penjual maupun saya menyebut kue tersebut kue Pancong, bukan kue Doger. Saya tidak habis mengerti mengapa sekarang kue tersebut bisa berganti nama? Kue ini berbentuk lonjong. Ukurannya, kalau ditarik garis luar kira-kira 8 x 5 ½ cm2. Tebalnya kira-kira 2 ½ cm. Warnanya kuning (katanya kuning karena pakai sepuhan) dan berbercak hitam karena gosong. Memasaknya di dalam cetakan logam persis seperti membuat kue Pancong atau kue Cubit. Rasa yang dominan adalah rasa kelapa parutnya dengan aroma yang wangi sekali. Sayang saya tidak tahu bahan-bahan lain yang dipergunakan untuk membuat kue ini.

Bagaimana saya tahu bahwa kue ini sebenarnya bernama kue Doger? Setelah mencari kue “Pancong” ini kesana-kemari tapi mendapatkan kue yang beda, saya berusaha menghubungi teman-teman lama saya pada masa itu. Dari mereka saya mengetahui bahwa nama kue itu bukan kue Pancong tapi kue Doger. Alhasil, sampai sekarang saya belum bisa menemukan penjual kue tersebut. Niat dan nazar saya adalah, apabila saya menemukan penjual kue Doger itu nanti, saya akan menyiapkan piring kecil berisi dua keping kue Doger dan segelas kopi tubruk panas. Dengan catatan kopinya adalah kopi jagung lokal asli, bukan kopi impor. Segelas kopi tubruk, kopi jagung, akan memberikan sensasi yang jauh berbeda dengan secangkir expresso, kopi impor. Saya akan bernostalgia sendiri seolah-olah saya adalah Pak Burhan, guru kelas IV SR saya, yang kini tidak saya ketahui kabar-beritanya. Kopi tubruk ini harus diseruput, dan kue Doger ini harus dimakan selagi panas. Tak boleh ditunggu dingin. Hmm hmmm . . sedaap. Kapan ya saya bisa ketemu dengan penjualnya?

Jakarta, 31 Maret 2010

Suhandi Taman Timur

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun