Orang Indonesia umumnya bangga memiliki pukau Bali yang indah, yang oleh Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri pertama India, dijuluki sebagai the last paradise. Begitu pula halnya dengan saya. Oleh karenanya saya merasa sangat shocked waktu seorang rekan pengamat memberitahukan bahwa bandara Bali dinilai sebagai bandara terburuk di dunia. The ugliest airport, katanya. Penilaian ini dibuat melalui sebuah jajak pendapat yang dikumpulkan dari para wisatawan internasional di dalam sebuah situs bernama www.travelandleisure.com yang bisa diakses oleh siapa saja. Posisi atau ranking terburuk ini tidak eksklusif dimonopoli oleh Bali, tapi dibagi bersama dengan bandara Sofia, Bulgaria. Yang agak mengurangi rasa kecewa saya adalah bahwa di tempat ke dua ada bandara-bandara terkemuka di dunia. Ranking ke dua terburuk diduduki oleh nama-nama “besar” seperti bandara John Fitzgerald Kennedy, New York, bandara Heathrow, London, bandara Charles de Gaulle, Paris dan bandara Narita, Tokyo. Dari pengamatan saya, penilaian itu hanya dibuat oleh para turis mancanegara sesuai dengan kebutuhan dan keinginan (needs and wants) mereka yang sifatnya memang subyektif. Yang dirujuk sebagai bandara Bali dalam hal ini, saya yakin adalah kawasan terminal internasional dari bandara Ngurah Rai, Denpasar. Menurut situs ini, penilaian terburuk jatuh pada faktor spacelessness. Tidak adanya ruangan yang cukup untuk bergerak bagi para wisatawan, baik yang datang, yang pergi ataupun yang transit. Menurut pendapat saya, penilaian ini tidak bisa kita bantah secara mentah-mentah, karena penilaian ini dibuat oleh mayoritas pengguna jasa bandara Ngurah Rai.
Atas dasar penilaian ini, saya telah mencoba untuk melakukan evaluasi dengan teman-teman pemangku-kepentingan, atau para stake holders di bandara Ngurah Rai yang kebetulan saya kenal. Secara umum mereka mengerti dan mengakui apa yang menjadi keluhan para wisatawan mancanegara ini yaitu, spacelessness. Malahan keluhan tersebut juga mereka rasakan sendiri. Menurut mereka, bandara Ngurah Rai sekarang praktis sudah jadi seperti pasar. Kios-kios penjual cenderamata begitu banyak “bertaburan” di setiap penjuru bandara. Waktu saya tanya kenapa begitu banyak? Mereka mengatakan bahwa siapa saja yang mau dan bisa membayar pasti akan diberikan ijin untuk membuka kios usaha. Jadi tidak heran bila wisatawan asing komplin karena pada kenyataannya memang bandara ini benar-benar spaceless secara efektif.
Dari sini dapat saya simpulkan bahwa penanganan dan pembinaan bandara Ngurah Rai ini memang mempunyai masalah. Masalah yang pertama adalah masalah pendapatan. Seperti diketahui bahwa bandara Ngurah Rai berada dibawah pengelolaan PT Angkasa Pura (AP) I, seperti halnya dengan bandara-bandara lain yang terletak di kawasan timur Indonesia. Sebagian besar dari bandara-bandara ini, secara bisnis merugi. Yang untung mungkin hanya bandara Bali dan Makassar saja. Akibatnya, ke dua bandara yang untung ini dibebani tugas untuk menyubsidi silang bandara-bandara lainnya. Mungkin itu sebabnya, ijin membuka kios begitu mudah diberikan karena pemasukan uang perlu didongkrak.
Masalah ke dua adalah kesalahan dalam pengembangan konsep city airport. Sudah lama Manajemen PT AP I dan PT AP II bercita-cita untuk mengembangkan bandara-bandara kita menjadi city airport atau bandara-kota seperti halnya bandara Changi di Singapura atau Schiphol di Amsterdam. Konsep ini menyediakan segala kemudahan yang ada di kota, di dalam bandara. Cuma bedanya, dengan konsep ini Changi dan Schiphol menjadi bandara terbaik di dunia, Ngurah Rai kok malah jadi bandara terburuk? Apakah mungkin bahwa kita (baca: PT Angkasa Pura I dan II) bermaksud membuat city airport atau bandara kota, tapi yang terjadi malah bandara kaki-lima? Dimana letak kesalahannya? Mungkin kita masih harus banyak belajar didalam hal ini.
Jakarta, 18 Mei 2010
Suhandi Taman Timur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H