Ekonomi Islam telah lama dikenal dengan prinsip-prinsip syariahnya, seperti larangan riba (bunga) dan spekulasi (maysir), serta penekanan pada keadilan sosial. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, konsep ekonomi Islam telah berkembang melampaui batasan halal (diperbolehkan) dan haram (dilarang), menuju pendekatan yang lebih holistik dan berkelanjutan.Â
Konsep tersebut dikenal sebagai Halalan-Thayyiban, yang tidak hanya memastikan bahwa suatu produk atau layanan halal, tetapi juga thayyib, yaitu murni, baik, dan memberikan manfaat bagi individu, masyarakat, dan lingkungan.
Dalam konteks perubahan iklim dan krisis lingkungan yang semakin mengkhawatirkan, ekonomi Islam Halalan-Thayyiban menawarkan solusi yang selaras dengan prinsip keberlanjutan.Â
Dalam Sustainable Islamic Finance Summit yang diselenggarakan di Jakarta pada 13 Februari 2025, berbagai ahli menegaskan potensi besar keuangan Islam dalam mendukung proyek-proyek berkelanjutan. Artikel ini membahas bagaimana konsep Halalan-Thayyiban dapat menjadi landasan untuk membangun sistem ekonomi yang berkelanjutan, serta tantangan dan peluang yang dihadapi dalam implementasinya.
Potensi Keuangan Islam dalam Mendukung Keberlanjutan
Menurut Tariq Al Olaimy, ahli keuangan Islam dan penasihat Ummah for Earth, pasar keuangan Islam diprediksi akan melampaui $8 triliun pada 2030, dengan alokasi 5% dari aset ini akan bernilai $400 miliar yang tersedia untuk pendanaan iklim.Â
Salah satu instrumen keuangan Islam yang telah menunjukkan potensi besar adalah sukuk berkelanjutan (green sukuk).Â
Pada paruh pertama tahun 2024, pasar sukuk ESG (Environmental, Social, and Governance) telah mencapai $9,9 miliar, dengan sukuk berkelanjutan mencakup 63% dari total penerbitan.
 Contoh nyata dari dampak positif ini dapat dilihat pada proyek Saudi Electricity Company dan Green Sukuk Indonesia, yang telah berkontribusi pada pengurangan emisi karbon.
Konsep Halalan-Thayyiban dalam Keuangan Syariah Berkelanjutan