Tidak sulit mencari sejumlah sosok di negeri ini yang perilaku lisan dan kebahasaannya 'tak beradab'. Mirisnya, tidak sedikit diantara mereka merupakan 'figur publik'. Hingga ada diantara mereka yang tumbang karena perilaku itu.
Mereka berseliweran di layar kaca, di media cetak, dan terutama di sosial media. Tampang, maupun ucapannya. Hafal belaka kita siapa mereka. Mungkin ada rasa muak. Tapi bagi para pemuja/pengikut/pecandu fanatiknya sebaliknya, mungkin makin terpesona . . . . . !
Boleh jadi sosok-sosok itu punya 'profesi' pokok atau sambilan sebagai youtuber, content creator, narasumber serba tahu, pakar/pengamat/ahli (atau sebutan lain serupa itu), atau pemilik 'podcast'. Yang pasti, mereka mendapatkan 'cuan' dari penampilan, ucapan, kata-kata, dan tulisan. Sayangnya, adab mereka kerap minus, bahkan 'tak senonoh' untuk layak dipajang pada 'ruang publik'.
Begitupun, ada saja stasiun tv dan podcast ramah betul terhadap mereka. Tak sungkan mereka dijadikan semacam narasumber tetap. Seolah tak tergantikan.
Agaknya mereka perlu pencerahan agar wawasannya lebih luas, perlu semacam nasihat, tapi siapa yang memadai untuk menjadi 'penasihat'?
*
Tentu banyak, terutama dari orang-orang yang dikenal bijak, berwawasan luas dan netral, dikenal karena dedikasi dan kiprahnya dalam pengertian baik-mendidik-mencerahkan.
Sebut saja nama Prof Rhenald Kasali Ph.D seorang akademisi UI. Terkait dengan adab kebahasaan ia membuat content pada Channel Rhenald Kasali (2 Agustus 2023), dengan judul 'Sembilan Tips Bahasa Keadaban'. Berikut ini sepintas kutipan ungkapannya:
Pertama, dalam berbicara harus mampu memperhatikan tempat, mana ruang privat dan mana ruang publik. Umpatan, makian, penghinaan dan ungkapan kemarahan serupa itu hanya cocok di ruang privat, di atas gunung atau pantai yang terpencil.
Kata-kata 'dungu, pengecut, bajingan tolol', dan entah kata busuk apa lagi, bukan kata yang menyejukkan dan apalagi mendamaikan.