Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Renungan Kecil, Musibah di Perlintasan Kereta Api Sidoarjo

4 Desember 2021   00:11 Diperbarui: 4 Desember 2021   00:18 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image caption - Perlintasan kereta api, tempat terjadinya kecelakaan yang mengenggut 20-an nyawa - beritatrans.news

Saya lanjutkan. "Sedih, sebab apapun musibahnya harus diiringi dg ucapan inna lillahi ... Ngguyu, membayangkan si bebek ternyata juga punya khilaf. Dan kalau keluarganya (sesama bebek) tdk ikhlas, bisa2 menuntut ke pengadilan...hehe."

Sari Triwisni dari Yogya, adik lain menambahi. "Waduuh, dadi bebek penyet kuwi. . ." (Jw, jadi hidangan bebek penyet"). Lalu Yayuk Sri Rahayu dari Kotagede Yogyakarta, adik ipar, berempati: "Mesakke yaa. . .?" (Jw, kasihan yaa?). Tentu membuat sedih dan kasihan.

Sri Hartini, adik dari Cepiring Kendal, berkomentar: "Penggembala bebek kurang disiplin dan hati-hati." Ya, kurang perhitungan, dan terlambat mengantisipasi.

Saya belum sempat menjawab komentar itu. Namun, di kepala sudah ada rancangan kata. Ya apa boleh buat, itulah resiko penggembala ternak. Posisinya selalu di belakang. Menggiring, bukan memandu.

Pirantinya hanya tongkat kayu panjang. Dua perintah yang dapat dilakukan. Bila tongkat diacungkan ke kanan, kawanan ternak tahu harus berbelok ke kiri. Demikian sebaliknya. Ia tidak bisa melakukan perintah agar gembalaannya berhenti. Wajar, rombongan itu menyelonong begitu saja. Puluhan, bahkan ratusan berbaris di belakang pimpinan yang tak paham bahasa manusia.

Kecuali bila penggembala lari menghadang ke depan pimpinan bebek. Tapi itu pun tidak bisa dilakukan, sebab para bebek bukannya berhenti, melainkan akan berbelok arah. Jadi, anggapan si penggembala kurang disiplin dan hati-hati, belum dapat dibuktikan kecuali setelah dilakukan  investigasi mendalam.

*

Kemungkinan lain bisa terjadi. Andai saja Pradhikta, si pengambil gambar, mengutamakan keselamatan para bebek, sebenarnya ia masih punya waktu untuk mengingatkan penggembala. Sebab ia berada pada posisi yang dapat melihat dari kejauhan ada rangkaian kereta api bakal lewat. Saat itu kawanan bebek belum menyeberang.

Itu pengakuannya sendiri. Tapi mungkin ia terlambat berpikir, mana yang harus diselematakan. Nyawa bebek? Atau konten untuk media sosial yang pasti sangat "bernilai"? Hal kedua dipilihnya, dan benar: videonya menjadi viral.

*

Hikmah cerita, meski tiap hari penggembala bersama bebek gembalaannya melalui jalan yang sama, lintasan yang sama, tetap perlu hati-hati agar selalu "baik-baik saja".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun