Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Dompet Kosong

21 Januari 2021   22:39 Diperbarui: 21 Januari 2021   22:52 4170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kriisis rupiah di tanggal tua -theconversation.com

Sepulang dari Masjid Azam saya terduduk di ruang tengah. Salat Isya berjamaah di masjid selalu terasa menjadi ritual ibadah penuh renungan. Merenung tentang rahasia kegelapan, layaknya usia senja yang mesti segera berganti malam. Layar kehidupan harus ditutup, dan itu berarti alam kubur menanti.

Di kedalaman sana nanti situasinya mencekam dan gawat. Siapapun dibuat bingung, takjub, dan takut jadi satu. Sendirian saja. Suasananya gelap pekat, sunyi senyap, dingin membekukan, jantung berdebar kencang saat menunggu penuh was-was apa bakal terjadi sebagai malam pertama orang mati.

"Kenapa, Pak? Ada yang lupa. . . ?" tanya isteriku seperti rutin dilakukannya bila melihatku agak termenung-menung, kening berkerut-kerut dan bola mata bergerak ke mana-mana, lagaknya mengingat-ingat sesuatu yang tiba-tiba menghilang dari ingatan.

"Ada, Bu. Tadi lupa tidak membawa uang kotak amal, alias kencleng.. . . !" jawabku sekenanya.

"Bukan lupa itu namanya, Pak. Tapi krisis, dompet sudah kosong melompong, tanggal tua. uang pensiunan bulan baru masih beberapa hari lagi. . .!" ucap isteriku lugas dan tuntas. senyumnya mengembang jenaka, jadi tawa.

Aku tertulari tawa, kejenakaan yang rutin dan basi sebenarnya, tapi masih memunculkan kegelian yang menusuk-nusuk uluhati. "Dompet boleh kosong, Bu, tapi tabungan akhirat kita makin banyak. Dompet dan segala isi dunia ini toh hanya sarana untuk menggapai akhirat. Kalau sedikit saja kita lalai memanfaatkan untuk amal-ibadah maka habislah kita saat menghadapi pertanyaan kubur nanti. . . . !"

Isteri dengan perlahan menggandeng lenganku untuk berdiri, dan berjalan menuju meja makan. "Cermati betul hidangan akhir bulan, Pak. Tapi bukan untuk menyesali, melainkan jusru mensyukuri, untuk berucap Alhamdulillah. Apapun yang diberi Allah itu anugerah.. . . . . !"

Aku duduk di kursi menghadap meja. Diikuti isteriku. Di atas meja makan itu seperti biasa, tersedia beberapa piring berisi sayur, lauk, sambal, kerupuk, dan nasi. Dan kami mengucap bismillah, lalu makan dengan penuh syukur.

Agak lama menikmati kunyahan pelan dan aneka rasa yang tak terbayangkan nikmatnya. Nikmat, masih punya gigi dan indera pencecap maupun penciuman yang normal. Nikmat, masih diberi minat makan dari rezeki seorang pensiunan pegawai rendahan. Nikmat, terjauh dari aneka keluhan penyakit tua.

"Enak masakannya, Pak? Nasinya agak lembek, tapi sambalnya pasti pedas sekali. Urap daun papaya itu dari tetangga. Persediaan beras tinggal sedikit lagi. Bagus besok pagi kubikin bubur saja.. . . . "

"Bukankah besok pagi kita puasa? Senin-Kamis? Ibu lupa?"

"Ibu selal ingat, tetapi bapaklah yang lupa. Lupa bahwa belanja beras harus tertib. Tepat waktu. bila terlambat sehari saja maka puasa kita bisa jadi Senin-Kamis-Sabtu. . . . !" sindir isteri dengan begitu renyah.

Aku lagi-lagi tersenyum, lalu tertawa, dan kali ini disertai batuk.

"Maaf, Pak. Aku membuatmu terbatuk."

"Tidak perlu minta maaf, Bu. . . . .," jawabku spontan. "Aku justru berterimakasih padamu, Bu. Sebab dapat selalu membuatku tersenyum lalu tertawa. Tetapi memang kalau keterusan jadinya malah batuk. Mestinya tertawaku secukupnya saja, ya? Tertawa sekadarnya, proporsional sesuai dengan dosis kelucuannya. . . . . . !"

*

Selepas makan malam aku sempatkan membuka ponsel pintar. Ternyata aku terima pesan beberapa kali "missed voice call" dari nomor kakakku lewat Whattsapp ke nomorku. Waktunya tadi jelang salat Isya berjamaah. Kebetulan selepas Maghrib aku tidak pulang, melainkan tetap di masjid untuk mengaji. Segera kukirim pesan WA balik: "Aku lagi mulih soko masjid. Piye, Mas?" (Aku baru saja pulang dari masjid. Ada apa/bagaimana, Mas?")

Tidak lama kemudian kabar duka itu datang. Dari grup WA kami bersaudara dan famili. Rupanya tadi bukan kakakku yang melakukan kontak, melainkan salah seorang anaknya. Sebab kakakku saat itu sudah menghembuskan nafas terakhir. Meninggal dunia, beberapa menit sebelum adzan Maghrib dikumandangkan.

"Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.. . . ," ucapku dengan seketika rasa terkejut, sedih, dan kehilangan berkecamuk di dada. Tangis lirih tak terbendung.

Isteriku mendekat, dan ikut membaca isi WA dukacita itu.  Ia pun tercenung lama, dengan isak tertahan. Beberapa bulan lalu aku dan kakak bertemu. Meski hanya berjarak tak lebih 10 kilometer kami sangat jarang saling berkunjung. Tentu kerepotan kesibukan masing-masing sebagai alasan. Juga umur sebagai kendala. Kakak 68 tahun, aku 5 tahun lebih muda. 

Riwayat penyakit kakak ada beberapa. Keluhan dada sesak, sulit buang air kecil, dan beberapa keluhan lain menjadi pemicu tubuhnya menyerah. Tetapi kakak tidak mengeluh, sesakit apapun yang dirasakannya. Ia juga tidak mau merepoti orang lain. Meski itu isteri dan anak-anaknya sendiri. Demikainlah yang diceritakan isteri dan anak-anaknya ketika malam itu aku bertakziah ke rumah duka.

Kejadian itu pertengahan Desember tahun lalu, dan tepat pertengahan bulan ini (Januari 2021) seorang adik ipar menyusul, berpulang ke Rahmatullah.

"Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.. . . . !" gumamku penuh prihatin.

Korona menjadi penyebabnya. Sosok pendidik senior itu memilik isteri dan anak-mantu berprofesi dokter. Tentu mereka sangat berhati-hati menjaga diri dari tertular korona. Namun, agaknya kesibukan Pak Guru yang aktif mengajar dan berorganisasi itu membuatnya terlena dari kemungkinan tertular. Pada umur 63 tahun, tiga tahun setelah memasuki masa pensiun, jatah umurnya habis. Bahkan resiko lain harus diterima, keluarga satu rumah positif korona dan harus diisolasi di rumah sakit.

Tiga hari di rumah sakit, adik ipar itu tak tertolong. Pukul 20.30 WIB nafasnya putus. Keesokan harinya jenazahnya dimandikan, dikafani, disalati, dan dikuburkan dengan ketentuan protokol kesehatan secara ketat. Kembali aku menitikkan air mata.

*

Di grup WA pensiunan dan alumni, berita dukacita dan berbelasungkawa hampir seminggu sekali muncul. Jeda waktunya kerap lebih cepat lagi. Aku dan isteri rajin memberi ucapan yang hampir rutin itu. Dan kini hanya sebulan kami harus mengumumkan dua berita duka.

Beberapa teman dekat menyampaikan ucapan dukacita. Aku berterimakasih atas perhatian dan doa mereka, dengan menambahi nasihat untuk diri sendiri: "Jangan benci mengingat mati", dan "Cukuplah kematian sebagai nasihat."

*

Bulan baru belum juga muncul. Persoalan klasik tak terhindarkan. Dan selalu di meja makan semua kesimpulan ihwal "dompet kosong" tergambarkan jelas. Dan entah mendapat daya ingat dari mana, isteriku suatu malam menirukan persis kata-kata yang pernah kuucapkan beberapa waktu lalu.

"Dompet boleh kosong, Bu, tapi tabungan akhirat kita makin banyak.. . . ."

Aku tercengang, dan tak mampu menanggapi. Tak peduli, isteri meneruskan dengan gaya berdeklamasi.

"Dompet dan segala isi dunia ini toh hanya sarana untuk menggapai akhirat. Kalau sedikit saja kita lalai memanfaatkan untuk amal-ibadah, maka habislah kita saat menghadapi pertanyaan kubur nanti. . . . !"

Mungkin mulutku terbuka lebar lantaran takjub, heran, dan hampir tak percaya. Bagaimana mungkin isteriku yang sehari-harinya tak lepas dari urusan domestik itu tiba-tiba seperti jurnalis yang hafal betul ucapan narasumber?

"Dompet boleh kosong. . . . . . !" tanpa sadar aku mengulang lirih kata-katanya, dengan nada dramatis.

Isteriku tersenyum, dan senyum itu menular. Aku ikutan tersenyum, lalu tertawa. Dan seperti biasa, kalau terlalu bersemangat dalam tawa, batuk jua yang tersua akhirnya. ***

Sekemirung, 21 Januari 2021 / 8 Jumadil Akhir 1442
Mengenang kakak alm. H. Ir. Mulyono Hadiprayitno, M.Sc (meninggal 18/12/2020 di Cimahi),
dan adik ipar alm. H. Drs. Moh. Fatah, MPd (meninggal 19/1/2021 di Kendal)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun