Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Dompet Kosong

21 Januari 2021   22:39 Diperbarui: 21 Januari 2021   22:52 4170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kriisis rupiah di tanggal tua -theconversation.com

"Ibu selal ingat, tetapi bapaklah yang lupa. Lupa bahwa belanja beras harus tertib. Tepat waktu. bila terlambat sehari saja maka puasa kita bisa jadi Senin-Kamis-Sabtu. . . . !" sindir isteri dengan begitu renyah.

Aku lagi-lagi tersenyum, lalu tertawa, dan kali ini disertai batuk.

"Maaf, Pak. Aku membuatmu terbatuk."

"Tidak perlu minta maaf, Bu. . . . .," jawabku spontan. "Aku justru berterimakasih padamu, Bu. Sebab dapat selalu membuatku tersenyum lalu tertawa. Tetapi memang kalau keterusan jadinya malah batuk. Mestinya tertawaku secukupnya saja, ya? Tertawa sekadarnya, proporsional sesuai dengan dosis kelucuannya. . . . . . !"

*

Selepas makan malam aku sempatkan membuka ponsel pintar. Ternyata aku terima pesan beberapa kali "missed voice call" dari nomor kakakku lewat Whattsapp ke nomorku. Waktunya tadi jelang salat Isya berjamaah. Kebetulan selepas Maghrib aku tidak pulang, melainkan tetap di masjid untuk mengaji. Segera kukirim pesan WA balik: "Aku lagi mulih soko masjid. Piye, Mas?" (Aku baru saja pulang dari masjid. Ada apa/bagaimana, Mas?")

Tidak lama kemudian kabar duka itu datang. Dari grup WA kami bersaudara dan famili. Rupanya tadi bukan kakakku yang melakukan kontak, melainkan salah seorang anaknya. Sebab kakakku saat itu sudah menghembuskan nafas terakhir. Meninggal dunia, beberapa menit sebelum adzan Maghrib dikumandangkan.

"Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.. . . ," ucapku dengan seketika rasa terkejut, sedih, dan kehilangan berkecamuk di dada. Tangis lirih tak terbendung.

Isteriku mendekat, dan ikut membaca isi WA dukacita itu.  Ia pun tercenung lama, dengan isak tertahan. Beberapa bulan lalu aku dan kakak bertemu. Meski hanya berjarak tak lebih 10 kilometer kami sangat jarang saling berkunjung. Tentu kerepotan kesibukan masing-masing sebagai alasan. Juga umur sebagai kendala. Kakak 68 tahun, aku 5 tahun lebih muda. 

Riwayat penyakit kakak ada beberapa. Keluhan dada sesak, sulit buang air kecil, dan beberapa keluhan lain menjadi pemicu tubuhnya menyerah. Tetapi kakak tidak mengeluh, sesakit apapun yang dirasakannya. Ia juga tidak mau merepoti orang lain. Meski itu isteri dan anak-anaknya sendiri. Demikainlah yang diceritakan isteri dan anak-anaknya ketika malam itu aku bertakziah ke rumah duka.

Kejadian itu pertengahan Desember tahun lalu, dan tepat pertengahan bulan ini (Januari 2021) seorang adik ipar menyusul, berpulang ke Rahmatullah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun