Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Penting Tayangan Jati Diri Bangsa, tapi TVRI Perlu Penonton

4 Februari 2020   23:58 Diperbarui: 5 Februari 2020   00:01 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto tua gedung TVRI Nasional Jakarta | dok. Kompas

Mendapati TVRI kembali ditonton oleh pemirsa merupakan kebahagiaan bagi orang-orang di belakang stasiun penyiaran tv Pemerintah itu. Pasti senang, bangga, merasa hidup kembali, penuh gairah, dan hal-hal serupa itu.

Dua dasa warsa terakhir, atau mungkin lebih, keberadaan dan siaran TVRI seperti ungkapan lama: hidup segan, mati tak hendak. Ada dan tiadanya tak diperhitungkan benar, tak diperhatikan orang. Padahal potensinya tidak kecil.

Lahirnya banyak tv swasta pada 1990-an, dan berlomba-lombanya mereka menggaet penonton dengan berbagai tayangan menarik dan kekinian (meski entah seberapa besar nilai informatif, edukatif, dan informatifnya) menjadikan penampakan TVRI seperti tak bergerak ke mana-mana. Sehingga layak ditinggalkan, dan diabaikan keberadaannya.

Namun sejak 2017 terasa ada sesuatu yang berbeda. Ada geliat yang mengagetkan, dan itulah eranya Helmy Yahya sebagai Direktur Utama TVRI.

Sebelum itu sebenarnya pernah ada sejumlah gebrakan kala Dirutnya Sumita Tobing. Namun hal itu tidak bertahan lama. Bahkan kemudian ketika sudah menjadi mantan Dirut yang bersangkutan tersandung kasus hukum.

*

Meski sudah menjadi mantan, penulis masih sesekali menikmati tayangan TVRI. Terlebih saat adzan Maghrib. Baik ketika bulan Ramadhan, maupun pada hari Senin dan Kamis. Saya lebih percaya jadwal yang digunakan TVRI daripada tv swasta, meski untuk itu adzannya beberapa menit lebih lambat.

Nostalgia, atau kebanggaan pada masa lalu betapapun masih melekat di dada penulis. Sebab hampir 30 tahun penulis menjadi pegawai rendahan di TVRI Daerah. Dan sepanjang perjalanan pengabdian di sana penulis merancang dan memproduksi cukup banyak materi siaran yang berbasis seni-budaya-bahasa dan kearifan lokal setempat.

Masalahnya, apakah produk lokal itu benar-benar sudah sesuai dengan tuntutan berlabel tayangan jati diri bangsa, penonton yang dapat menilai.

Pekerjaan penulis sehari-hari ketika masih menjadi karyawan TVRI yaitu membuat materi tayangan yang berisi seni-budaya-bahasa daerah..

Kesenian daerah menjadi materi pokok dan penting di TVRI Daerah. Hampir tiap povinsi ada stasiun daerah, dan isi siarannya tak lain mengenai kedaerahan itu. Ketika di Sulawesi Utara--khususnya Minahasa--musik kolintang dengan berbagai variasi tampilannya menjadi garapan sehari-hari. Ada lagi jenis musik lain, yaitu alat musik tiup berbahan kerang. Seni musik itu mengiringi tarian khas di sana, diantaranya Tari Maengket dan Cakalele.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun