Cerita sebelumnya: Banjir memang bukan kawan yang baik. Maka kami memutuskan untuk pergi, dan mencari kawan lain yang berbeda sama sekali. Tanpa bajir lagi. Lima belas tahun kemudian, siang ini. . .
*
Tiga tahun setelah bersabar dan berkawan dengan banjir yang terus menggenangi rumah, isteriku berinisiatif minta pindah tugas. Ke mana saja di tempatkan, di pelosok negeri, diterima saja asalkan diberi rumah dinas.
Sementara itu tiga anak kami memilih tinggal di rumah lama. Mereka bertahan di sana. Hidup mandiri untuk bersekolah, lalu kuliah, dan setelah lulus mendapatkan pekerja sesuai keahlian masing-masing. Si sulung dan tengah pindah keluar kota, dan punya rumah meski kecil-kecilan. Tinggal si bungsu menjaga rumah. Â Ia tabah meneruskan keterpaksaan yang tidak bisa kami lakukan.
Setiap liburan mereka datang. Mereka senang mendapati suasana baru. Tetapi mereka tidak pernahpunya keinginan untuk menetap.
*
Dan beginilah kehidupan kami sekarang. Kami ditempatkan di suatu kawasan di Timur yang berlimpah matahari, kering hampir sepanjang tahun, dengan pemandangan luas dan indah sepanjang hari. Semua serba menyenangkan, kecuali kala menunggu hujan.
"Bagaimana kalau hujan tidak jadi turun, Bang?"
"Berarti mereka ingkar janji. . . !"
"Lho, memang janji dengan siapa?"
"Dengan penduduk bumi. Mereka sudah memberi harapan, memberi angin surga. Tapi ingkar. Tidak menepati janji. Tentu mereka berdosa sekali. . . . . !"