"Sudah. . ."
"Sudah. Tapi untuk mencontohnya tidak mudah. Para pejabat pura-pura tidak tahu. Perilaku feodal peninggalan penjajah masih melekat pada pikiran para pejabat kita. Tak heran banyak orang yang membenci Jokowi semata lantaran jujur dan amanah. Banyak pengusaha kotor, pejabat dan mantan pejabat bahkan politikus kotor yang tidak siap berubah. Perilaku mereka ditunggangi lawan-lawan politik Jokowi yang haus kedudukan. Klop sudah. Mereka bersekongkol.".
"Tolong-menolong dalam kejahatan?"
 "Begitulah bahasa agamanya. Fitnah dan berita bohong bertebaran. Orang-orang  berduit mengupah para petualang. Lalu membuat onar, adu domba, mau bikin negara baru.  Kelompok Saracen dan MCA tertangkap. Entah berapa kelompok lagi yang masih bergerilya. . . !"
"Wah, bapak kayak politikus saja.. . . !"
"Lho, para politkus itu ada yang semula pengangguran, pengusaha gagal, pengurus organisasi pemeras, dan para petualang. Kalau bapak mewakili para tukang besi kemudian bikin organisasi, bisa saja entah kapan kelak jadi politikus. Utang modal, lalu naik pangkat jadi anggota dewan. Makmur kita. . . .!"
"Sudah, jangan muluk-muluk kalau berangan-angan. Makmur lalu masuk bui lantaran korupsi, apa enaknya?"
Pak Bejo terkekeh lebar. Ditunggu-tunggu makan malam belum juga disediakan di meja. Rasa penasaran Mas Bejo memuncak. "Belum ada tanda-tanda makan malam bakal keluar nih. . .!"
"Beras habis, uang belanja pun tak ada lagi. Bapak ada uang 'kan? Ayo kita duduk di teras. Kita tunggu gerobak nasi-goreng lewat. . . . Â !" ajak Bu Tin sambil tersenyum.
Dengan perasaan kecewa Mas Bejo mengikuti langkah isterinya ke teras. Menunggu gerobak nasi-goreng si Gondes lewat.
Tak lama tampak Lik Sumar berjalan tergesa. Ia tampak kerepotan karena menenteng dus besar.