Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Buluh yang Layu

8 Januari 2016   15:09 Diperbarui: 8 Januari 2016   16:23 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

  sumber ilustrasi: sesawi.net

“Sungguh, Suster, Tuhan sudah melupakannya! Pengampunan itu seperti sebuah kepulan asap, nampak sebentar lalu menghilang ditelan angin. Segalanya sudah tak berbekas di mata Tuhan. Itu sebabnya, bangkitlah kembali! Tak baik bergelimang dalam sesal dan putusa asa!” Demikian kata-kata bijak dari Rama Sepuh yang terasa sejuk di hati, manakala aku ambruk dan mengakukan dosa-dosaku dalam derai air mata.

Bagaimana tidak hancur berkeping-keping hati ini, kalau hidup yang telah kuserahkan kepada Tuhan, lewat pengabdian dan kesetiaan dalam lembaga hidup bakti, tiba-tiba diterkam dan dirobek-robek oleh nafsu iblis keparat! Mea culpa, mea culpa, mea maxima culpa!  Dan iblis itu bersarang dalam hati seorang yang pantas kusebut Om! Ya, dialah yang melemparkan aku ke dalam jurang penyesalan yang tak kunjung akhir. Mencoreng kemurnian jiwa dan batin yang kupasrahkan hanya kepada-Nya!

Bencana itu terjadi di kota S. Ketika itu  aku menjadi kepala sekolah  di sebuah SD di kota M. Seperti biasa setiap bulan aku harus menyerahkan laporan bulanan kepada yayasan penyelenggara sekolah sambil mengambil gaji untuk guru-guru. Waktu itu gaji guru-guru masih dibayarkan secara manual, dimasukkan amplop masing-masing dengan diberi nama dan bulan gajian.

“Ada pesan dari Bapak! Suster diminta datang di hotel G. Bapak nggak enak badan. Saya diminta menjemput Suster!” kata Pak Suja, supir pribadi yang biasa mengantarkannya.

Tanpa menaruh curiga sedikit pun, aku lalu bergegas mengikutinya, karena urusanku dengan yayasan sudah beres. Di depan lobby hotel, Pak Suja memintaku turun, lalu menunjukkan nomor kamarnya. Ia sendiri kemudian memarkir mobil dan menunggu di luar.

Seperti biasa Om memang sering mengajakku jalan-jalan. Entah ke tempat wisata, supermarket, atau sekadar makan minum di restoran. Tentu saja sebelumnya dia  pasti mengontakku dulu, sehingga aku tidak mengenakan jubah biarawati. Dengan adanya Konsili Vatikan kedua, para biarawati dalam kondisi tertentu diijinkan untuk tidak mengenakan jubah. Namun hari ini... dalam jubah putih  yang masih bersih, tanpa kontak sebelumnya, aku harus menengoknya ke hotel. Mengapa harus di hotel? Ada keraguan di relung hati, tapi segera kutepis, karena selama ini Om begitu baik kepadaku. Artinya, dia belum pernah berbuat yang neko-neko. Dia selalu menyayangiku layaknya seorang paman kepada kemenakannya. Dan itu telah kualami bertahun-tahun, bahkan sebelum aku masuk biara. Tapi kini... rasa merinding itu datang... Ah, tidak! Aku harus menemuinya...

Kuketuk pintu kamar yang telah disebutkan Pak Suja. Suara berat dari dalam kamar terdengar. “Masuk saja! Pintu tidak dikunci!” Kubuka pintu perlahan, dan kulihat tubuh Om membujur di kasur berselimut layaknya orang sakit.

“Kunci saja pintunya, Suster!” katanya tanpa nada memerintah. Tak sadar, aku pun patuh menurutinya. Segera aku dekati dia, untuk memastikan apakah dia benar-benar sakit dan memerlukan pertolongan. Mengetahui aku mendekat, ia segera berkata, “Ah, hanya nggak enak badan. Capek! Habis dua hari muter-muter ngurusi proyek pembangunan kantor”, katanya sambil tangannya menyilakanku duduk di  tempat tidur. Ia memang pemborong. Sering ia harus pergi ke sana  kemari untuk melakukan negosiasi pembangunan rumah tinggal atau perkantoran. Biasanya hal itu akan menguras waktu, pikiran dan tenaganya.

“Boleh aku minta tolong, Suster!” katanya dengan lembut. Belum sempat kujawab pertanyaannya, dia telah memiringkan tubuh, lalu merangkulku. Aneh, rangkulannya kali ini tak seperti biasa. Tiba-tiba kulihat dari wajahnya terpancar sorot mata singa kelaparan, dan dengan gerakan segera, sebelum segala sesuatunya kusadari, ia telah mencengkeram tubuhku. Dibantingnya tubuh lelah ini lalu dengan kasar dipretelinya pakaian ini... Dan... bumi pun gonjang-ganjing, ambleg,menimpa tubuh rapuh ini... Tembok kamar yang kaku, lantai berkarpet beludru, serta tempat tidur berseprei putih itu pun seolah ikut menangis bersamaku…

Ketika nafas ini tinggal satu-satu, sehabis prahara dan gelombang dahsyat meluluhlantakkan hidup, dengan sesenggukan sambil memberesi penutup tubuh aku terbata-bata katakan padanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun