Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Bulan Pendidikan Kebudayaan] Mendidik Calon Pendidik

29 Mei 2016   14:45 Diperbarui: 29 Mei 2016   15:08 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kegiatan pelatihan guru di Banjarnegara. foto: dokumentasi pribadi

[Bulan Pendidikan Kebudayaan]  Mendidik Calon Pendidik

When wealth is lost, nothing is lost

When health is lost, something is lost

When character is lost, everything is lost

(Author: Unknown)

Pendidikan adalah dasar utama pembangunan pribadi bangsa. Pernyataan itu pernah saya usulkan untuk dituliskan pada batu peringatan  saat renovasi pembangunan gedung Sekolah Dasar dan Taman Kanak-Kanak Swasta di kota Bandung empat puluh lima tahun yang lalu. Waktu itu saya diminta Kepala Sekolah untuk mencarikan kata-kata yang  pas buat dituliskan pada batu peringatan yang dipajang di depan bangunan gedung sekolah saat peresmian. Sampai saat ini kata-kata itu masih terpajang di depan bangunan sekolah. Gedung sekolah itu sendiri telah mengalami renovasi ulang, dan kini begitu megah karena terdiri atas tiga lantai. Di Sekolah Dasar Swasta itulah saya mengawali karier sebagai guru.

          Lima belas tahun saya menjadi guru SD Swasta, dan mengalami empat kali mutasi. Senantiasa mengasah keprigelan sambil meningkatkan kompetensi, akhirnya saya dapat merangkap sebagai guru di SMP dan SMA. Pada tahun keenam belas saya pindah menjadi guru di Perguruan Tinggi Swasta, karena lulus seleksi setelah mengikuti tes penerimaan calon pegawai di lingkungan Kopertis Wilayah IV Jawa Barat. Awalnya saya dipekerjakan di Tasikmalaya. Sejak tahun 1990 saya pindah ke sebuah sekolah tinggi keguruan di kota Sumedang, sampai saat ini.

          Kegemaran membaca mengantarkan saya mendapatkan berbagai pengetahuan secara otodidak. Untuk meningkatkan kualifikasi, dan karena tuntutan persyaratan, maka saya perlu menambah kompetensi saya lewat pendidikan formal. Karena mengajar di Perguruan Tinggi ternyata memberikan kemudahan untuk mengatur waktu kegiatan,  maka saya meningkatkan wawasan dan pengalaman saya dengan mengikuti berbagai pelatihan, seminar, dan bekerja paruh waktu di sebuah perusahaan eceran yang berkaitan dengan tugas profesional saya.

Berani Tampil Beda

          Sejak awal menjadi guru saya mencoba untuk tampil apa adanya, menjadi diri sendiri. Jujur saya akui, bahwa awalnya saya masih sering terserang rasa minder, pemalu, penakut, dan seolah “jalan di tempat” (stagnan).  Dengan bergulirnya waktu, kondisi itu sedikit demi sedikit dapat saya atasi.

          Saya sadar bahwa menjadi guru itu mengantarkan seseorang dari tidak menjadi ya. Dari tidak tahu, tidak mengerti, tidak berani, tidak mau, tidak mampu menjadi tahu, mengerti, berani, mau, mampu. Pelajaran-pelajaran yang akan saya berikan kepada siswa, tidak hanya saya berikan begitu saja, tetap saya coba mengemas ulang dan menyesuaikan dengan tingkat pemahaman siswa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun