Sebagai orang yang lahir di Jawa, keturunan Jawa dan besar di Tanah Jawa, awalnya saya tak mengenal makanan, bernama empek-empek. Atau sebagian orang menyebutnya pempek dan mpek-mpek. Apalagi saat pertama mendengar jenis-jenisnya, seperti kapal selam, lenjer, telur kecil, keriting, pistel, kulit, adaan, tahu dan model. Kabarnya mencapai 15 jenis atau macam lebih. Ketika saya mengenyam pendidikan strata 1 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta selama kurun 1999-2003, perkenalan dengan jenis kuliner ini sebenarnya sudah dimulai. Sejumlah teman kuliah dan pacar (sekarang menjadi istri) kerap menawari saya menikmatinya. Tetapi dengan alasan tak terbiasa dengan makanan ini, saya menolaknya. Seiring waktu pertahanan jebol juga. Lidah saya tak kuasa untuk mencicipi makanan khas Palembang ini. Makanan berbahan dasar tepung tapioka, ikan, mie kuning dengan kuah cuka atau cuko (orang Palembang menyebutnya) ini teramat menggoda. Sekitar akhir 2006 saya menikmati untuk pertama kalinya. Dan, kesan awal, belum begitu menyatu di lidah. Masih aneh. Barulah setelah memasuki dunia kerja, saya mencoba intens mencicipi empek-empek, sampai akhirnya sekarang menjadi salah satu 'camilan' favorit saya dan istri. Istri saya yang bukan orang Palembang pun lihai memasak empek-empek dan rasanya tak kalah dengan rasa buatan asli orang Palembang. Kami biasa menikmatinya sore hari dengan secangkir teh. Perpaduan kuliner Sumatera dan Jawa. Dari rasa yang ditawarkan, serta cerita sejarah yang mengawali penemuan makanan ini membuat empek-empek di mata saya memiliki kesan berarti. Dari literatur yang saya baca, empek-empek konon mulai ada  di Palembang sejak masuknya perantau Cina ke wilayah itu sekitar abad ke-15 atau saat Sultan Mahmud Badaruddin II berkuasa di Kesultanan Palembang-Darusalam. Nama empek-empek sendiri kabarnya diyakini berasal dari sebutan 'apek', yakni sebutan lelaki tua keturunan Cina. Seorang apek berusia 65 tahun pada zaman itu dan tinggal di daerah Perakitan (tepian Sungai Musi) merasa prihatin menyaksikan tangkapan ikan berlimpah di Sungai Musi yang belum dimanfaatkan seluruhnya.Penduduk waktu itu, hanya sebatas memasaknya dengan dipindang dan digoreng. Belum ada alternatif olahan lain. Si apek itu lalu mencoba berinovasi. Ia mencampur daging ikan giling dengan tepung tapioka, sehingga dihasilkan makanan baru. Makanan baru tersebut dijajakan oleh para apek dengan bersepeda keliling kota. Bermula dari situlah, kemudian nama empek-empek disematkan, merujuk kepada para penjualnya yang kerap dipanggil "pek-apek". Tanpa hendak menghakimi kebenaran asal muasal nama empek-empek tersebut benar atau tidak, kuliner khas Ibu Kota Provinsi Sumatera Selatan tersebut kini telah ikut mewarnai ragam makanan Tanah Air. Saking populernya, makanan ini, sudah merambah hampir seluruh wilayah nusantara. Mulai dari penjual kaki lima, gerobakan hingga restoran, mereka membuat warga Indonesia mengenal empek-empek. Tapi, meskipun sudah banyak penjual empek-empek di luar Palembang, rasanya tetap tak afdol kalau belum menikmatinya di asal kuliner tersebut bermula. Maka,ketika saya mendapatkan kesempatan berkunjung ke Palembang, sudah barang tentu oleh-oleh bidikan saya adalah empek-empek. Saya pun berkesempatan menikmati empek-empek asli Palembang di restoran salah satu merek terkenal di sana. Dan, kesannya begitu melekat hingga sekarang. Bahkan, istri saya yang saya bawakan khusus sebagai oleh-oleh berharap mendapatkannya lagi suatu hari nanti. Satu yang saya pelajari dari empek-empek khas Palembang dan yang sudah menyebar di berbagai wilayah nusantara adalah, ke-khasannya. Cita rasanya. Empek-empek yang kita nikmati dan kita beli di Palembang selalu menawarkan cita rasa yang tak luntur di lidah. Mungkin karena bumbu, cara masak dan penjiwaan orang Palembang dalam mengolahnya. Juga termasuk jenis ikannya. Ikan tengiri adalah jenis ikan yang melekat di empek-empek asli Palembang. Itu karena cita rasanya yang khas. Untuk rasa yang kuat di lidah, produsen biasanya akan menggunakan ikan belida. Sedang, di daerah lain, produsen kebanyakan mulai berinovasi karena mungkin kelangkaan dua jenis ikan tersebut, yang membuat rasanya sedikit berbeda. Di Pulau Bangka Belitung misalnya. Empek-empek di sana menggunakan ikan kembung. Di Jakarta, sejumlah penjual malah menggunakan ikan gurami. Belakangan, variasi pemanfaatan ikan sebagai bahan utama empek-empek makin berkembang, karena mulai munculnya empek-empek udang. Bahkan empek-empek udang. Menulis empek-empek, sambil membayangkannya, membuat saya pun berselera mencicipinya saat ini. Menikmati empek-empek kapal selam di kala senja, sepertinya asyik. Terlebih menikmatinya saat menumpangi mobil Daihatsu di tengah kemacetan jalan, misalnya......... [caption id="attachment_315764" align="aligncenter" width="540" caption="Empek-empek. Kuliner www.daihatsu.co.id dari Palembang yang kemudian menusantara (kredit : http://sin.stb.s-msn.com)"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H